Lalu waktu berjalan cepat tanpa cacat sedikitpun mendekati malam yang semakin melarut, saya lihat Arumi tidak menampakan rasa gelisah sekecilpun, dia begitu nyaman bersama diri saya, hingga saya mulai menyadari bahwa malam semakin padam.
Arumi, saya pikir saya mesti pulang! Kata saya. Dia terdiam, matanya menjadi kosong.
Baiklah mas Ari, aku akan tetap disini dan terima kasih telah menemani saya. Jawabnya dengan suara lirih.Â
Lalu saya meraih legannya buat pamit, sementara Arumi menghempas tubuhnya dan mendekap saya lekat bagai tak hendak melepaskan.
Saya pun meninggalkannya sendirian di Stasiun Solo Balapan yang mulai sunyi dan hanya didatangi penumpang-penumpang penempuh subuh. Saya masih menatapnya dari kejauhan dari jalan luar beranda Stasiun Solo Balapan dengan rasa kecamuk.
***
Hari-hari rel pun kembali berjalan dan sejak itu seorang pria berwajah baru pejalan komuter Solo Balapan kembali terlihat menyapa acak beberapa lelaki di sekitar sambil mengajukan pertanyaan yang sama kepada tiap lelaki yang disapanya. Â Dan dia tak lagi menjalani kereta, dia hanya berputar-putar di stasiun Solo Balapan, sambil terus bertanya kepada siapa saja.Â
Apakah anda pernah jumpa Arumi? Begitu yang keluar dari bibir saya setiap harinya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H