Ibunya menyusul kira-kira enam bulan sehabis papanya meninggal, dan kali ini juga dia tidak sempat berjumpa dengan ibunya di saat kematiannya, sama persis dengan ketika papanya wafat, dia juga tidak tampak. Hanya para tetangga dan ketua RT yang mengurus pemakaman kedua sepuh yang tak berjarak panjang itu.
Hari ini tepat delapan hari kematian ibunya dia pulang, katanya dia bekerja sebagai reporter lapangan dan tak berkesempatan pulang, pun buat menghadiri kematian kedua parentnya. Nama anak lelaki itu Ralfi, biasa dipanggil Ralf oleh para tetangga.
Saya sudah keluar dari pekerjaan petualang itu! Katanya ketika bapak ketua RT berbincang dengannya.
Sehari dia tiba, dia langsung berkunjung ke nisan ibu dan papanya yang memang berdampingan, dia bersimpuh dan terlihat mendoakan tapi Ralf tidak menangis, dia memakai baju putih dan celana hitam yang bersih dan membawa seikat bunga buat kijing ibunya.
Tidak ada orang yang menyertainya, dia sendiri bersama kuburan dan alam yang dirundung senja, padahal matahari masih berwarna merah melawan dari balik awan.
Ralf kembali ke rumahnya yang sudah ditinggalkan berpuluh tahun dan rumah itu tetap tanpa perubahan, masih sama semenjak dia dilahirkan hingga dewasa. Atapnya, dindingnya, kursi, meja, bufet, peturasan, kamar tidur, lampu, langit-langit, warna dan aromanya masih tetap sama. Yang berbeda hanya kini Ralf menempati rumahnya seorang diri bersama kenangan.
Begitu pula tetangga kiri dan kanannya masihlah sama, sebelah wetannya masih dihuni mbok Wenten yang janda seumuran dengan ibunya, samping kulonnya masih dihuni oom Jems van Bloomer yang sekarang sudah menjadi duda, karena istrinya yang asli dukuh ini sudah meninggal. Jadi satu deret tiga rumah itu dihuni oleh orang-orang tunggal, orang-orang  sebatang kara yang sudah pernah patah.
Di satu hari minggu kedua, Ralf kembali masuk ke dalam rumah setelah beberapa hari tidak menampak, dia terlihat membawa seekor kucing dalam dekapannya. Waktu itu sekitar pukul 5 sore, dan mbok Wenten sempat mengintip dari celah jendela depannya, Â mengamati Ralf yang menggendong seekor kucing. Mbok memandang Ralf tampak begitu kurus tidak seperti biasanya, mungkin dia merasa kesepian atau depresi dan memasukkan kucing ke dalam kehidupan solonya.
Kau membopong kucing kemarin Ralf? Kata mbok di keesokan paginya.
Kucing? Jawab Ralf seperti tak terjadi demikian.
Ya kucing!
Tidak ada kucing mbok!
Mbok melihatmu dan kucing itu, kemarin sore!
Maaf mbok, satu kali lagi aku katakan, tidak ada kucing!
Lalu Ralf masuk kembali ke rumah, wajahnya muram meninggalkan mbok Wenten tua yang merasa terganjal akan fakta matanya.
Sampai hari sore mbok Wenten yang terus mengintai mendapatkan Ralf tetangga separuhnya itu tidak terlihat keluar rumah, namun selepas magrib dilihatnya Ralf membuka pintu depan, dia keluar rumahnya bersama seorang perempuan muda berparas cantik. Ralf merangkulnya dan wanita itu menggelendot di bahunya, mereka berjalan seperti satu kesatuan yang tak terberai sebagai pasangan dimabuk asmara.
Mata sipit mbok Wenten melebar maksimal dibarengi pertanyaan yang menggumpal di dalam kepala putihnya. Perempuan muda itu? Dari mana dia berasal? Dia tak pernah melihatnya ada di dalam rumah lelaki tetangga sebelah itu?
Ralf dan perempuan itu menghilang ditelan tikungan dan sinar petang yang merambat, mata kabur mbok terus saja menatap mereka meskipun tersisa cuma bayangan.
Malam ini mbok sukar terlelap, dia seperti menunggu yang kurang dimengerti namun membuat penasaran, tentu saja perempuan muda itu, hingga jarum jam  kamarnya melekatkan angka 12, rumah sebelahnya tetap saja sunyi. hingga membikinnya kelelahan dan tertidur.
Pagi sekali mbok Wenten sudah melangkah longgar keluar, dia mengejar hatinya yang mengganjel sedari malam, lalu tak sabar mengetuk pintu Ralf, itupukul 5:25.
Kupikir kau tak pantas memasukkan seorang perempuan  Ralf! Mbok menyemprot Ralf yang masih mengantuk berpegang tangkai pintu. Perempuan? Ralf berwajah linglung. Namun mbok Wenten yang sudah merasa sebagai ibu sambung tak tertahan untuk mendobrak masuk ke dalam rumah.
Menerjang masuk hingga ke dalam rumah namun perempuan baya itu tak mendapatkan yang dicari. Kau sembunyikan dimana dia , Ralf! Teriaknya berang.
Ralf menghambur berusaha menenangkan situasi. Tidak ada perempuan mbok! Sama sekali tak ada di sini! Katanya menyakinkan, dan mbok pun mengelilingi semua penjuru rumah tanpa menemukan seseorang lain pun.Â
Masih tak berputus harap, mbok melabrak pintu kamar tidur dan berputar ke balik almari dan kolong meja, Ralf mengikutinya dari belakang. Mbok Wenten meraba seprei ranjang dan merasakan ngeres, sampai dia mengibas sprei ranjang yang serta merta bulu-bulu halus pun beterbangan ke sekeliling kamar lalu berjatuhan. Â
Hei, Lihatlah bulu halus itu! Bukankah kau tidur dengan kucing itu, Ralf? Dimana dia? Tiba-tiba mbok bertanya. Â Ralf menggamit lengan mbok Wenten dan berbisik perlahan ke wanita tua itu. Dia sudah tidak di sini lagi mbok! Katanya.
Sejak kejadian tersebut mbok jadi banyak melamun di beranda rumahnya seperti menanti sesuatu pembuktian, hingga satu malam dia mendapati tetanga tuanya let serumah dari rumahnya yaitu menir Jems van Bloomer menggandeng seorang perempuan muda. Mereka berjalan keluar menuju jalan dan hilang di atmosfer malam yang rabun.
Mbok Wenten memandang kedua pasangan berbeda generasi itu sampai menghilang, dan di dalam kepala putihnya dia berniat mengajak berdua bersama Ralf besok, untuk menanyakan tentang kucing yang yang menjadi masalahnya selama ini kepada menir Jems.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H