Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ulang Tahun ke-13

24 Mei 2022   19:45 Diperbarui: 24 Mei 2022   20:00 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by pixabay.com

Seingat saya waktu itu saya berusia akil balik, barangkali antara 12-13 tahun.  Ibu saya sangat memanjakan saya, maklum saya anak lelaki satu-satunya. Ibu saya sangat melindungi saya, bahkan jika saya salah ibu saya membela apapun yang menghantui saya, sekecil apapun. 

Di lawan pihak, ayah saya adalah lelaki yang keras, dia mau anak lelaki harus menjadi seperti dirinya, jantan , kuat, tidak cengeng, tidak plin-plan, dan enggak cengengesan. Makanya kedua laki-bini ini kerap berkelahi terkait masalah saya, dari hal yang sepele sampai masalah yang menurut mereka masalah gede. 

Ibu selalu membawa saya keluar dari pertengkaran, memeluk saya bahkan melakukan double cover jika ayah saya spaneng lepas kontrol bagai hendak menerkam.
Kondisi rumah tangga ini ternyata berlangsung kronis, sampai ayah saya menyerah dan tidak mau ikut campur lagi untuk memaksakan kehendaknya terhadap saya.

Yak, seingat saya, umur saya mendekati 13 tahunan, ketika saya mendengar pembicaraan dalam negeri mereka pada suatu malam.

Aku menyerah buk! Kata ayah saya.
Biarlah! Aku masih sanggup mendidiknya kok pak! Jawab ibu saya.

Dan sejak itu, ayah saya tidak lagi memperlakukan saya dengan keras, dia hanya diam saja, seakan menyerahkan pembentukan jiwa saya kepada spousenya. Ayah menjadi banyak diam, di sisi lain dia mengakui bahwa dia adalah lelaki yang gagal untuk memberi nafkah yang berkecukupan kepada anak-bininya. 

Tapi menurut saya yang masih kencur kala itu, kami hanya sebuah keluarga yang sederhana, dengan kehidupan yang harus berhemat.

Begitulah mulai saat usia saya sekitar 12-13 itu, ibu seperti mendapat second wind, beliau terlihat lega, dan tambah memanjakan saya.

Saya ingat ketika mendekati ultah saya yang ke 13 itu, ibu mengajak saya berbelanja ke suatu supermarket yang besar. Kami berdua memasuki pintu mall yang besar dan berhawa dingin yang hanya satu tahun sekali bisa kami kunjungi. Hati saya gembira dan bergandengan dengan ibu menyusuri toko-toko yang gemerlap di sepanjang mall.

Hingga tiba di sebuah toko mainan besar, ibu menarik saya masuk ke dalam toko mainan. Saya menghentikan tubuh saya, merasa enggan dan deg-degan untuk masuk ke venue itu. Namun ibu membujuk dan menggapai saya dengan lembut.

Ayolah Totok, bukankah besok hari ulang tahunmu ke 13? Bujuk ibu. Dan saya pun manut melangkah ke dalam.

Ternyata toko itu cukup luas, membikin saya tersepona, sementara ibu menarik lengan saya menuju tempat tertentu, yaitu tempat mainan yang dipenuhi oleh berderet rak yang memajang mainan perang-perangan.  

Beberapa rak di depan saya terlihat dipenuhi oleh boneka-boneka soldier, lengkap dengan seragam loreng, helmet, dan memegang senjata. Di sebelahnya ada rak yang lebih besar berisi jenis jenis mainan pistol dan senapan laras panjang hingga senjata mesin. 

Di atasnya ada mainan sajam, seperti belati, bayonet dan kapak yang digunakan untuk perang. Saya menatap sepanjang rak mainan lelaki itu dengan takjub. 

Ibu menarik saya kearah 2 rak selanjutnya, dimana terpenuhi oleh paket struktur dari rumah perang yang dilengkapi pesawat pemburu, tank dan ampibi.

Lalu ibu mendekatkan wajahnya ke wajah saya.
Adakah yang kamu inginkan dari mainan ini, Totok? Ibu menawarkan sembari menunjuk boneka soldier.

Tidak Ibu! Jawab saya lirih. Karena saya tahu bahwa kami cukup miskin untuk membeli mainan mahal ini, dan lagi saya tak hendak ibu membelanjakan uangnya untuk membeli mainan.

Meskipun di dalam kalbu, saya menginginkan boneka tentara yang ganteng itu berpakaian militer penuh variasi, dengan sikap mereka yang gagah, berbaris, mengisi amunisi, dan menembak.

Apakah engkau yakin, engkau tak menginginkan serdadu itu, Totok? Ibu kembali mengingatkan saya lagi.
Tidak ibu, aku tak menginginkan mereka..

Kemudian kami beranjak ke tempat lain yaitu tempat pakaian dan ibu mengambil sebuah daster yang dirasa pantas, selanjutnya kami menuju ke tempat pakaian remaja. Ibu mengambil stocking dan pakaian dalam lalu mencocokkannya sejenak ke tubuh saya sementara saya hanya terdiam, dan ibu memasukkannya ke dalam keranjang belanja. 

Tiba di kasir, ibu meminta diambilkan  satu lembar kertas kado berwarna merah dan membayar seluruh belanjaan. Setelah itu kami pulang ke rumah.

Hingga keesokan pagi saya terbangun dan mendapati di atas meja belajar ada satu bingkisan terbungkus kertas kado berwarna merah. Di atasnya tertempel kartu ucapan bertuliskan, Selamat Ulang Tahun ke 13 Totok tersayang. Love- your Mother.
***

Kini 15 tahun kemudian.

Saya sudah hidup sendiri, mandiri dengan kehidupan saya di kota lain, sementara ibu dan bapak masih tetap tinggal berdua di kota kelahiran.  

Namun saya masih saja mengingat kejadian ulang tahun ke 13 saya yang saya rasakan seperti neraka waktu itu, meskipun saya tak pernah sekalipun membicarakan tentang isi kado warna merah ultah ke 13 dari ibu saya.

Dan saya rasa, sudah  berjalan 4 tahun saya tinggal di kota ini, dan sampai sekarang, sekalipun saya belum pernah lulus dari uji psikiatri.
Saya masih saja sering membeli stocking dan underwear.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun