Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Suatu Tempat Kesepian

5 Mei 2022   19:43 Diperbarui: 5 Mei 2022   19:45 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dia berusia 65 tahun dan istrinya 66 tahun. Mereka hidup berdua di rumahnya yang disebut rumah kesepian. Tidak ada karangan kata apalagi sastra, bahasa pun terbatas. Mereka sudah ditinggalkan lama oleh kesenian, meski kehidupan harus terus berjalan. 

Lelaki ini menderita kanker mulut yang di tetapkan oleh seorang dokter ahli yang dilanjutkan oleh perawatan radiasi. Istrinya yang 1 tahun lebih tua menderita Alzheimer, yang setiap hari selalu lupa meletakkan gaunnya ada dimana. 

Suaminya hanya mengerti harus mengganti pakaian dalam istrinya di setiap harinya seperti bayi. Mendudukkannya berjam-jam untuk menahan kelupaan, supaya tidak tersesat di jalan ke kamar mandi atau kamar dapur. 

Istrinya tidak pernah berbicara, hanya berbisik yang tidak pernah lagi dimengertinya. Dia sejatinya lelaki yang baik, tetapi waktu mendekatinya seperti musim neraka yang kesepian. Lelaki itu sendiri mesti berproses dengan perawatan radiasi yang telah habis sekian tahun merusak tulang rahangnya, mengharuskannya mendapat bonus tambahan yaitu rehabilitasi medis rutin. 

Sehingga dia tidak bisa lagi mengemudi dan mengharuskannya menggunakan taksi daring atau angkot di setiap jadwal datang ke pusat medis. Semenjak rahangnya berkembang tidak semestinya dia mengalami kesulitan berbicara. 

Dia harus menuliskan apa saja yang ada di kepalanya kepada supir taksi, kepada satpam atau kepada dokter. Dia hanya bisa berjalan dengan diam dan melihat untuk segera tiba di rumahnya lalu mengurus pekerjaan rutin buat istrinya. 

Dia selalu terbayang jika meninggalkan istrinya seorang diri duduk dikamar tidur, berjam-jam dengan gerak anggota badan yang sama, gerakan terbalik akan diulang-ulang, ke atas untuk mengambil benda di bawah atau gerakan ke bawah untuk meraih barang di atas. 

Istrinya tidak mau beranjak dari kursi selain diam, dari bahasa mata suaminya istrinya sudah menangkap bahwa bila dia berusaha berjalan dia tidak akan bisa  mengerti apakah dia berjalan maju atau mundur. Seterusnya istrinya hanya menunggu suaminya pulang dari rehabilitasi dan penyinaran, baru dia akan bergerak berlawanan dengan yang digerakkan oleh suaminya.

Biasanya dia pulang jam 2 siang dengan membawa dua bungkus nasi padang atau nasi warteg, tempe dan tahu tidak pernah disangsikannya karena itu makanan kesukaan istrinya. 1 bungkus full untuk istrinya, sedang dia hanya nasi setengah karena rahangnya nyeri bila digerakkan untuk mengunyah banyak-banyak. Tapi dia harus makan untuk hidup dan bukan hidup untuk makan seperti sultankawe.

Kali ini, terlihat dia turun dari angkutan kota pinggiran, dan berjalan cukupan jauh sekitar 2 kilometer untuk mencapai kediamannya, langkahnya perlahan karena jika dia melangkah sigap, tubuhnya bergetar sampai ke punggung lalu merambat ke rahangnya, membuatnya pusing kadang 7 keliling. Lagi buat apa lagi jalan cepat-cepat, sudah lansiah juga lah!

Membuka pintu depan rumahnya yang dikunci dari luar lalu membersihkan diri di wastafel sebelum dia menyuapi istrinya yang makan dengan lahap. Dia sangat senang jika memandang istrinya makan mungkin juga karena disuapi sebagai tanda kasih sayang yang tidak pernah pudar, bukan hari kasih sayang yang hanya 1 tahun 1 kali. 

Setandas nasi padang dia menyenduk teh hangat perlahan ke bibir istrinya lalu istrinya meneguknya meminta langsung mereguk dari gelas. Baru setelah urusan gegares ini tuntas, dia mengambil jatah setengah bungkusnya dan mengunyahnya perlahan layaknya mengikuti teori jumlah kunyahan minimum sebanyak 32 kali, makanya lelaki ini paling lama kalo sudah makan. 

Tapi  ini dilakoninya dengan sabar, karena orang sabar itu kekasihnya Tuhan. Belum lagi jumlah giginya yang bisa dihitung dengan jumlah jari sebelah  tangan akibat kanker mulutnya, menambah perpanjangan waktu makan yang bisa 3 kali dari normalnya orang sepuh makan.

Dia menoleh kepada istrinya yang sedang merebah di atas kasur sambil memandang langit-langit kamar seakan penuh gambar, dan dia membiarkan mata istrinya berseri-seri seperti ada yang mengajaknya bergurau. Setelah selesai makan dengan waktu mengaret, dia bangkit dan mencuci segala perabotan kotor bekas makan, perlahan tanpa bersuara karena maklumlah sebagai lansiah more than sixties  gerak lengannya slow motion jika mencuci piring.

Sore hari menjelang, biasanya dia membaca, dari berita online atau situs dari hape jadulnya tapi sudah anderoit, kadang tapi jarang dia membuka kompasiana situs pujaan hatinya, namun hanya membaca judul-judul tulisan dan gambarnya, sesekali membaca artikelnya tapi nggak pernah tamat, mungkin dia kurang paham atau mungkin juga capedeh karena dia sudah terlalu usur dan ketinggalan generasi milenium apalagi genset.

Malam hari dimulai terkantuk-kantuk namun dia harus menyiapkan besok adalah hari operasi kankernya yang ke3, dia baru diberitahukan beberapa hari sebelumnya karena perkembangan baru sel-sel kankernya yang mulai tidak terkendali dan tidak mau berdamai.

Dia melihati istrinya yang tertidur dan kemudian ikut rebah di sisinya. Masih ada sedikit lagi yang tersisa. Pikirnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun