Hari pun menjelang malam mendekati jam 9 malam, aku masih berjalan di pedestrian seorang diri dengan suara high heelku  seperti irama perkusi, tik, tak, tuk, tek tok. Orang- orang di jalan memandangi arah suara highheelku tapi mereka seperti tak melihat tubuhku. Kepala mereka heran dan pada celingukan mencari pemilik sepatu berhak tinggi, kok cuman suara doang.
Aku sendiri terus berjalan menuju kegelapan, dimana aku tak tau dimana posisi diriku saat itu, aku tidak merasakan apa-apa lagi dan tidak mencium apa-apa lagi dan tidak melihat apa-apa lagi.
Bahkan di tanah terdekatku, aku juga tidak tahu apakah ada mawar di atas kepalaku, atau taburan setanggi di sisiku, mungkin aku lebih suka rumput hijau di atasku dan sedikit pancuran kecil dan tetesan embun basah, dan jika kamu mau, kau bisa mengingatnya, atau jika kamu tak mau, lupakanlah.
Sementara, Joni masih terduduk lama di pojok kafe kopiyomas, wajahnya merunduk, sementara penjaga kedai kopiyomas masih mengamati pemuda ganteng itu, yang sudah beberapa tahun ini bolak-balik datang ke kursi yang sama, dan ngomong sendiri, nangis sendiri. Lalu pelayan mendekati dan menghibur Joni.
Joni.. Joni.., Jeni kan sudah meninggal lama, nak! Kata penjaga tua ngopinyokmas!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H