Seperti sudah kongkalikong semalam, pelatih Catalan Joseph Guardiola dan dan pelatih Armenia Jurgen Klopp, menampilkan pertunjukkan sepakbola praktis yang tidak menarik. Keduanya membawa permainan bola kaki kembali ke suasana sepakbola tradisional dengan moda serang yang linear yaitu adu speed menyongsong umpan terobosan berulang-ulang guna mendulang goal sebanyak-banyaknya.Â
Tidak ada permainan gila Manchester City yang terkenal lewat Jack Grealish atau permainan flash Liverpool dari seorang Mohammed Salah, semuanya seperti barisan robot dengan serangan sprint antara orang bertahan dan orang menyerang.
Apalagi berharap seperti Guardiola terbaik di jaman Vincent Kompany, David Silva, Aguero dan Sane sekaligus juga Jurgen Klopp dengan keajaiban Dortmund yang memaksa tim kelas satu Bayern Muenchen harus turun mesin membenahi kesebelasannya.
Semalam mungkin begitu berat, dua petinggi kesebelasan di dua papan atas kerajaan Inggris ini harus menanggung beban liga paling ketat di dunia dengan bahasa Inggris pula.
Merumput dengan 4-2-3-1, Â Manchester City pada basicnya menempatkan tiga penyerang pelari cepat Jesus-Sterling-Foden ditopang gelandang serang kapten De Bruyne, guna memanfaatkan kelambanan bek pusat Liverpool, van Dijk dan Matip yang berkaki berat. Â
Semakin tampak pula dari penempatan  yang aneh Bernardo Silva, gelandang serang City, kini menyamping sejajar dengan Rodri yang menandakan kehati-hatian terhadap ancaman sprinter Liverpool. Namun Silva adalah Silva, dia adalah pitch breaker, dia juga bukan gelandang bertahan meski dioperasikan paralel dengan play maker Rodri, Silva akan cepat mengurai setelah pertahanan untuk membangun serangan pada saatnya.Â
Padahal biasanya Silva adalah bayangan Kevin De Bruyne sebagai salah satu false nine.
Demikian pula Liverpool menandakan diri dengan 3 striker mobile Salah-Jota-Mane untuk memanfaatkan center back ManCity, Stones dan Laporte yang kurang memiliki kecepatan. Memakai Jota tidak Firmino, adalah menunjukkan bahwa sepak bola Liverpool kali ini adalah kecepatan semata, dan Firmino yang sedang naik daun mungkin dinilaiterlalu kreatif untuk melakukan strategi praktis ini.
Anehnya sehabis menit lewat 70, dan kedudukan bertahan alot 2-2, sepertinya kedua pelatih ini melakukan hal yang semestinya dilakukan terhadap kebiasaan kesebelasannya.
 Diawali oleh Klopp yang memasukkan Luis Diaz di serang sebelah kiri sebagi usaha lebih kreatif di penyerangan yang jenuh, dibalas oleh pelatih gundul Guardiola menurunkan Riyad Mahrez dan selanjutnya Naby Keita dan Firmino lau diakhiri dengan masuknya Jack Grealish. Tapi itu ternyata tidak berjalan bagus, tidak terjadi apa-apa sama sekali, karena sepertinya mereka sudah sepakat bahwa 2-2 adalah pantas.
seusai laga, Guardiola mengklaim bahwa Manchester City memberi Liverpool 'kehidupan' dalam perburuan gelar dengan hasil imbang ini meski secara samar dia juga menyiratkan bahwa City tidak mampu membayar lebih banyak poin dalam laga tinggi ini.Â
Sementara Klopp tidak punya kata lain selain mengatakan bahwa Liverpool tidak akan berhenti mengejar.
Artinya, pada intinya kedua pelatih gahar ini akan menentukan posisi juara liga premier dengan menjatuhkan 7 pertandingan tersisa di kaki mereka.
Secara keseluruhan, pertandingan berjalan seperti kesebelasan advance yang memainkan sepakbola dasar yang tidak menarik, meski diselingi oleh blink-blink yang tetap menjadi signature kedua pelatih ini seperti pertarungan head to head Foden versus Alexander Arnold  dan MSalah versus Cancelo yang hanya terlihat berkedip karena terkubur oleh strategi kuno yang muncul di kepala di saat-saat genting.
Sepak bola pragmatis ini mau enggak mau akan menerbitkan pemanfaatan ruang tengah yang sempit, kedua tim bermain dengan permainan tinggi menyisakan ruang panjang antara penjaga gawang dengan lapangan tengah yang merupakan ruang kosong tempat kecepatan bertarung.
 Kreatifitas lapangan tengah praktis menjadi hampa karena ini bukan area yang dinginkan, area yang diperlukan adalah ruang kosong di belakang pertahanan yang lebar untuk beradu lari.Â
Seperti sepakbola anak anak atau minimal sma. Tidak ada kreasi di lini tengah kecuali mengambil atau menarik lawan guna menghambat laju sprinter atau pengumpan terobosan.Â
Sepakbola Inggris akan menjadi hembusan retorika konspirasi ketika dua pemeran puncak beradu laga dalam kondisi kedudukan poin sama dan mengambil keputusan draw guna memilih jalan lain yaitu melanjutkan liga melawan lawan-lawan selanjutnya yang lebih rendah untuk menjemput poin.
Dan malam tadi, 2 pelatih hebat itu telah memainkan sepakbola dengan umpan yang paling sederhana, dan hanya membiarkan mereka berlari, berburu, dan mencetak gol. Ini tidak mencerminkan 2 tim papan atas dengan kompetisi berimbang, bukan pula tim yang memiliki spirit lethal yang memadai selayaknya yang mereka miliki. Â
Ada seperti ketakutan masing-masing, mereka menjadi ciut dan mengingkari head to head yang semestinya mereka hadapi, mereka mematikan gaya lalu berpelukan dengan lega sehabis pertandingan, tidak buruk memang tetapi membosankan. Anda setuju enggak sih?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H