Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Puisi di Telepon

7 April 2022   17:59 Diperbarui: 7 April 2022   18:02 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
image from pixabay.com

Dengar! Aku bilang sudah berakhir! Aku bilang sudah selesai! Terdengar perempuan itu bersuara kencang dari dalam telepon.
Dan aku masih muda! Lihat, aku memiliki pergelangan kaki yang cantik dan lihat, pergelangan tanganku yang bagus!
Henk! Kau masih mendengarku?
Yes, dear! Saya menjawab.
Ya, Tuhan kau masih juga berpikir ini akan berhasil? Henk...?  Kau harus pergi jauh dari teleponmu. Kau mengerti? Lalu telepon diputus.

Saya masih tertegun lama memegang batang telepon yang tanpa suara lagi. Saya tau, saban saya menelponnya suaranya selalu membuat saya jadi gila. Entah ini mungkin sudah ke 7 kali saya menelponnya sejak dia minggat dari kehidupan saya. Dia pergi begitu saja dari kehidupan saya yang dulu dia gandrungi. 

Padahal semula, kami memiliki atmosfer kehidupan yang sama sebangun dan lalu menjalaninya dengan kecocokan. Saya minum banyak dan dia merokok berat, sesekali dia minum lebih banyak dan saya merokok lebih pekat. Orang-orang beat-club mengatakan hidup kami serasi, sebelas duabelas, saya tidak memedulikan apapun istilah yang diberikan yang mirip tangan-tangan enteng kaum netize. Yang saya kasat mata bahwa kehidupan mereka tidak lebih busuk dan jorok daripada kami, meskipun saya jauh lebih presisten.

Dengar! aku sudah hidup cukup lama untuk menjadi wanita yang baik!
Baiklah! Aku...
Apakah ada perempuan di rumahmu?
Ya, kami baru saja tiba.

Henk! Kau menelponku hanya untuk menarikku kembali? What the hell of you, Henk! Nikmatilah your bloody hell living!
Perempuan itu berteriak hingga terdengar oleh gadis saya yang baru di ranjang saya.
Apakah perempuan gila itu? Gadis itu bertanya.
Dia tidak gila, ku pikir dia hanya sedikit absurd!
Saya tidak memberi jawaban lagi, hanya menyalakan rokok dan meminum dari kaleng bir baru, padahal gadis itu sudah siap bercinta.

Keesokan harinya saya kembali menelpon.
Apakah tidak ada hal lain yang kau kerjakan Henk? Perempuan di seberang mulai menyuarakan suara merdunya.
Bukan, aku merindukanmu!
Dengan gadis semalam itu?
Bukan, aku membutuhkanmu!
Tidak Henk! Kau tidak membutuhkan saya, kau membutuhkan wanita yang buruk, bukan? Jujurlah Henk! Anda perlu disiksa  bukan Henk?
Aku tak berdaya untuk tidak membutuhkanmu!

Anda pikir hidup itu busuk jika seseorang memperlakukan anda busuk semuanya cocok, Henk? Katakan padaku, Henk. Apakah anda ingin diperlakukan seperti sampah? Lalu kembali telepon diputus.

Dan saya tidak lagi menelponnya dalam 1, 2 hari ini, saya masih duduk dengan celana pendek, merokok dan meminum  kaleng tin diatas meja tulisan puisi saya, setelah saya mengunjungi beat club dan membawa satu gadis berbeda dari kemarin. Kami berbincang bukan mengenai puisi tetapi tentang cuaca dan hanya masa kini, jam kini, bahkan detik terkini.

Apakah kau pernah mencintai? Saya bertanya kepada gadis baru itu. Dia tertawa keras, dan mengatakan bahwa dia sudah lupa bagaimana cara mencintai.

Apakah anda membodohiku, Henk tua? Tanyanya masih tertawa.
Maaf. Kata saya. Aku benar-benar minta maaf.

Pegang aku! Katanya. Maukah anda memelukku?
Sayapun memeluknya, merasakan sesuatu yang silam, yang pernah, yang belum berubah. Saya merasakan tubuh yang ramping, lengan yang kecil, pergelangan yang cantik. saya pernah berada disini. Saya memejamkan mata.

Henk tua. Maaf, maukah anda melepaskanku?
Maaf!

Lalu dia bangun dan menyalakan rokok, dia gemetaran. Mondar-mandir, tampak sedikit liar dan gila. Lalu tangannya yang kurus mulai memukuli saya sambil berteriak. Saya memegang pergelangan tangannya dan saya melihatnya melalui kedua mata birunya ada warna kebencian yang dalam seperti sudah berabad-abad.

Bukankah ini kamu yang dahulu? Saya mulai meyakini keraguan yang sudah sedari tadi muncul. Gadis itu menangis di atas meja saya membasahi kertas-kertas.
Saya merasa bersalah dan tidak berdaya dan merasa sakit. Seperti segala hal yang saya pelajari telah terbuang sia-sia. Saya merasa parah. 

Tidak ada mahluk yang hidup seburuk saya! Kata saya.
Kau harus menghentikan teleponmu! Aku tidak bisa pulang dan tidak bisa pergi Henk! Katanya.
Saya mendekapnya dan memperlihatkan kepadanya bahwa semua puisi yang saya tulis itu palsu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun