Pegang aku! Katanya. Maukah anda memelukku?
Sayapun memeluknya, merasakan sesuatu yang silam, yang pernah, yang belum berubah. Saya merasakan tubuh yang ramping, lengan yang kecil, pergelangan yang cantik. saya pernah berada disini. Saya memejamkan mata.
Henk tua. Maaf, maukah anda melepaskanku?
Maaf!
Lalu dia bangun dan menyalakan rokok, dia gemetaran. Mondar-mandir, tampak sedikit liar dan gila. Lalu tangannya yang kurus mulai memukuli saya sambil berteriak. Saya memegang pergelangan tangannya dan saya melihatnya melalui kedua mata birunya ada warna kebencian yang dalam seperti sudah berabad-abad.
Bukankah ini kamu yang dahulu? Saya mulai meyakini keraguan yang sudah sedari tadi muncul. Gadis itu menangis di atas meja saya membasahi kertas-kertas.
Saya merasa bersalah dan tidak berdaya dan merasa sakit. Seperti segala hal yang saya pelajari telah terbuang sia-sia. Saya merasa parah.Â
Tidak ada mahluk yang hidup seburuk saya! Kata saya.
Kau harus menghentikan teleponmu! Aku tidak bisa pulang dan tidak bisa pergi Henk! Katanya.
Saya mendekapnya dan memperlihatkan kepadanya bahwa semua puisi yang saya tulis itu palsu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H