Turun dengan formasi serupa 4-2-3-1 saat Arsenal menghadapi Leicester City semalam di kandang, dengan tipe permainan keduanya begtu mirip seperti kakak beradik.Â
Sore yang lembut di Stadion Emirates, diisi oleh fans merah putih yang riuh meneriakan, Ole! untuk pasukan The Young Gun. Pelatih detil Mikel Arteta terlihat percaya diri sehabis melalap 5 seri kemenangan sebelumnya, sementara Brendan Rodgers terlihat kalem wae setelah melahap 4 kemenangan berturut-turut sebelumnya. Aku pernah meredam meriam ini di musim silam! Seringainya.
Permainan dimulai dengan keras dari Arsenal dari lini tengah, Thomas Partey dan Martin Odegaard yang berdiri beurutan, mereka melengkapi super saka, Bukayo Saka dan super gaby, Gabriel Martinelli di kedua sayap. Hanya berempat inilah mereka menerapkan serangan tahan-gas, tahan, gas lagi.Â
Sungguh Arsenal hanya berisi empat meriam ini saja, selebihnya hanya pelengkap, yaitu mengamankan tengah dan memcuci belakang. Itulah mesin Arteta, mesin hasil diskusi panjang dengan kakek Arsene dan sesekali Guardiola di silam Mikel.
Dan pelatih Leicester City yang  berwajah bintang filem, Brendan Rodgers tampak terlalu charming, malam itu membawa anak-anak serigala yang santun. Come on Brendan!Â
Dan malam itu, Leicester bermain lebih kaya seperti di atas panggung pertunjukan, meski lebih banyak menyisir kedua flank serangan lewat sayap Barnes dan Albrighton yang dioverlapping oleh fullback Thomas dan Ricardo, sementara pemain serba bisa gelandang bertahan Dewsbury-Hall seperti memiliki tugas khusus mematangkan umpan playmaker James Maddison.Â
Entah ada apa gerangan dengan pelatih Brendan kali ini, dia seperti alergi untuk membenturkan lini tengahnya dengan lini tengah Arsenal. Dia memilih mlipir di garis panjang sisi pitch, hampir di setiap serangan yang di build up.Â
Ini tentu saja membuat hegemoni lini tengah dipegang oleh triangle Partey- Xhaka-Ordegaard. Melupakan Lacazette yang mulai meredup bolehlah ada di kepala Brendan, tapi untuk melompati lini tengah dengan serangan menyisir bukanlah jalan optimal.
Membaca play maker Maddison yang mencoba mengabaikan pelatihnya, tampak Leicester mulai memperlihatkan signaturenya, dan itu dimulai sekitar menit ke 20an dalam kedudukan lost 1-0.Â
Lintasan umpan dan acungan lengan seorang James Maddison lebih dituruti pasukan. Ini terlihat bahwa serangan dari lini tengah Leicester berbahaya, tegas dan terukur. Leicester bukan kesebelasan yang tergantung dari keterampilan beberapa pemain semata seperti yang diperlihatkan seterunya pada seorang Bukayo Saka dan Gabriel Martinelli. Leicester merupakan kesebelasan sebelas yang rata dan menyerang tanpa terasa tusukan, tau-tau goal ajah.
Sayang beberapa kali tusukan  Harvey Barnes dari umpan Dewsbury-Hall ditahan oleh kiper Arsenal Ramsdale. Yang spektakuler adalah ketika sundulan Barnes dari jarak dekat yang sudah 100% pasti goal, masih bisa ditangkis oleh tangan kiri kiper Ramsdale. Hebat kali kiper Arsenal ini!Â
Namun sejatinya, Leicester telah menunjukkan bermain football secara lembut dan mengerikan bagai sekawanan serigala. Ini yang menghantarkan mereka juara premier league 2016 yang saat itu dilatih Don Ranieri dan semenjak itu urat Leicester sebagai elite EPL mulai menjelma.
Hal ini terlihat, meskipun sedikit ketiduran semalam, saya melihat mantra Leicester yang diemban  gelandang James Maddison mampu membawa pengaruh kerja cerdik merebut kendali lapangan yang dikuasai Arsenal. Artinya Leicester bisa dengan mudah meremote kendali dari pressure keras Arsenal tanpa disadari oleh lawannya itu. Ini bahayanya Leicester.
Tidak ada risau Brendan akan kekalahan 0-2 Leicester, karena ini adalah kekalahan bola mati dan scrimmage yang dimanfaatkan oleh Arsenal, seperti goal pertama dari sepak sudut Martinelli yang disundul oleh Partey, itu satu goal mudah, juga goal kedua hasil penalti Lacazette adalah goal peruntungan setelah melihat adegan VAR maju-mundur yang makan waktu.
Saya sendiri lebih prefer untuk Leicester City yang rendah hati tapi memiliki  mesin yang menyeluruh sebagai pasukan yang gampang naik kelas dibandingkan kesebelasan Arsenal yang hanya memiliki dua mesin yaitu Saka dan Martinelli.
Ini tercermin dari curhat Mikel Arteta sekelarnya laga tersebut, ketika dia menatap kedepan akan laga Arsenal diambang waktu mendekat ini, yaitu menghadapi Liverpool dan selanjutnya Aston Villa.
"Ini level yang berbeda", kata Arteta. "Kami harus membawa permainan kami ke standar yang baru", lanjutnya.  Sepertinya ada kemasjgulan bahwa kelas Arsenal demikian rawan untuk secara permanen bahkan menggeser sekalipun Manchester United di peringkat 4.
Ini adalah lapangan atas yang sesungguhnya, dan apakah Arsenal bisa mencapainya bersama Mikel Arteta? Saya pikir tidak! Bersenang-senang dalam permainan sepakbola katanya adalah tradisi Arsenal menikmati kegembiraan akan arti sepak bola sebagai ekspresi diri mereka sendiri. Itulah kekuatan Arsenal yang sekaligus juga kelemahannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H