Kita memang kebiasaan up and down, ketika timnas Indonesia bermain cool kita menyapa upgrade, sesaat performa timnas tidak maknyus kita pun mendown grade. Kebiasaan melihat timnas secara black and white jadi terlihat norak, ketika terjadi kebalikannya, yang kita pediksi jelek ternyata bagus yang tadinya ngarep keren jadi gambes. Timnas memang menjadikan banyak penulis terombang-ambing, makanya  ikuti nasehat penulis puisi Charles Bukowski, jangan pernah mau menjadi penulis puisi.
Perhelatan Hari Match Football kemarin di stadion Kapten I Wayan Dipta Gianyar Bali, adalah juga merupakan alternatif  melancong ke Bali Bird, atau Bali Zoo, atau keliling saja ke desa Mas Ubud menikmati keindahan ukiran high class dari kayu trembesi oleh seniman detail Bali.
Untuk tidak mengambil hati terhadap pandangan bahwa penampilan Timnas Indonesia saat  melawan Timor Leste, sangat-sangatlah mengecewakan, ada baiknya menikmati keindahan Gianyar.
Sehingga kita bisa melihat dengan santai pertandingan bersahabat ini dari berbagai sudut sesuai suasana Bali, dan kita tidak langsung ngegas untuk melihat laga ini sebagai laga masa depan timnas Garuda, tidak juga terjerumus ke dalam kiamat timnas sudah dekat.
Menikmati pertandingan timnas Garuda secara personal akan lebih melegakan, ketimbang mematok benchmark timnas utuh di segala lini, yang malah membikin darah tinggi. Menikmati permainan Timor Leste sendiri, Â juga bisa menyeimbangkan kejiwaan, sehingga tidak terlalu miring. Menikmati timnas Indonesia dari sisi proses pemain subordinat dan pemain muda debutan juga lebih mencerahkan, untuk menghilangkan noise dari tinjauan terhadap timnas yang sporadis dan 4L.
Kita bisa menikmati dengan melihat pemain-pemain Timor Leste memainkan bola simple dan sempat unggul 1 kosong di babak pertama. Keistimewaan mereka adalah, hampir semua kaki-kaki pemain Timor Leste begitu kuat, kokoh dan rigid, perebutan diantara 4 kaki selalu dimenangkan lelaki Timor Leste, Â mereka jarang terjerembab karena kuda-kuda mereka seperti scaffolding.Â
Barangkali pelatih Shin Tae-yong bisa mencari bocoran, kenapa kaki-kaki pesepakbola Timor Leste bisa kaku sekuat steger, untuk direkayasa kepada pemain kita.
Menikmati permainan Timnas dengan harapan melambung, juga akan menjadi salah start dan sedikit kurang pintar didalam laga ini, karena banyak hal yang baru dan yang lebih menarik, ketimbang duduk manis ngarep permainan tiki-taka, dan harapan kehebatan final AFF lalu, yang akhirnya melahirkan kekecewaan karena halu yang enggak kesampaian.
Padahal ada keindahan Sani Rizky meski bukan sebagai supersub dari Asnawi Mangkualam, tetapi skill dan boosting yang terlihat enggak terlalu jomplang ketika timnas tanpa Asnawi. Wingback kanan ini membawa keanehan tersendiri dan sekejap melupakan kehadiran Asnawi selama pertandingan berjalan. Â
Pivotingnya menawan seperti sayap murni padahal Sani adalah pejabat defender, turn-overnya lumayan untuk menghambat nomor punggung 10 Timor Leste, goalgetter Mouzinho lebih berbunga. Sani makanya tampak tergantikan sepanjang 90 menit lapangan.
Di pertandingan friendly ini ada dua debutan belia timnas, pemain sayap Ronaldo Kwateh (nomor 10) dan gelandang Marcelino Ferdinan (nomor 7).Â
Di kemudaan, keduanya memiliki determinasi yang jauh melebihi usianya. Menanggung beban flank kiri yang sempit nampak bagai sebuah permainan skill lama yang pernah kita saksikan pada sebuah pertandingan profesional. Gerakan kaki jenjang Ronaldo yang overrated terasa familier seperti yang kita saksikan di laga-laga Eropa, yang muskil dilaksanakan oleh pemain lokal.Â
Ronaldo Kwateh bukan pemain konservatif, dia akan melewati lawan dengan kreatif bahkan tak terduga. Penampilannya dingin tapi liat, dia akan menjadi harapan jika sirkumstansinya mendukung dan kepalanya diisi oleh referensi idolanya yang mengisnpirasinya. Harapannya sih permainan inspiratifnya turus meluber.
Marcelino Ferdinan, adalah gelandang yang membawa papan lapangan di dalam kepalanya. Dia memiliki skema separuh lapangan, dari garis tengah hingga kotak penalti. Marcelino mirip Evan Dimas muda tapi lebih cepat, lebih menyerang dan berakurasi baik. Pemilikan bolanya sulit direbut, kakinya yang panjang kadang bersilangan seperti Johan Crujff, untuk melewati bek atau adu balap lari. Positioningnya aduhai. Suatu ketika, teman-teman setimnas harus memberikan kepercayaan penuh kepada Marcelino sebagai pengganti Evan Dimas yang lebih memimpin, muda dan berbahaya.
Indonesia kebelakang kini, semakin dipenuhi bakat-bakat muda sepak bola yang mencengangkan, dan ini suatu keindahan tontonan meskipun secara keseluruah tontonan itu bad view, tapi kita enggak boleh blindness, bahwa suatu saat timnas akan menemukan titiknya, di mana pemain-pemain  berbakat akan berpadu menjadikan tim yang hebat.Â
Jangan marah-marah, Â jika timnas mengecewakan melawan undedog Timor Leste, padahal di dalam satu performan tim yang judeg, selalu terlahir mutiara yang bersinar, lebih berpengharapan daripada sekedar ngomel timnas menang dengan susah payah dan atau menang fake. Â
Timnas merah putih harus dilihat sesuai warnanya jangan dilihat hitam putih.
Dan penemuan talenta muda yang hebat akan semakin banyak dan semakin merata, dan mereka akan meratakan jalan mulus timnas yang tidak lagi akan bergelombang. Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H