Hei! Bos! Lemes badan saya inih! Saya berkata memprotes. Namun kedua kaka ini bagai budeg telinganya, dan yang sempat saya amati, wajah mereka seperti sedang berkhayal disertai nafas mereka yang tersengal berkejaran.Â
Dan saya beruntung tak lama akhirnya, tante Erni terlihat bangkit dari kursi santainya, dan anjing peliharaannya yang besar yang luput dari pandangan kami, tiba-tiba sudah berdiri disisinya. Tante Erni membelai hewan jinak besar ini dan tante Erni berjalan menuju pintu untuk mengajak the dog keluar, mungkin kebiasaannya setiap malam mengeluarkan anjingnya saban malam. Â Â
Karena posisi kami bertiga head to head dengan posisi frontal tante Erni and the dog, serentak kami berbalik, bubar, dan berlari sprint, takut ketahuan terpergok oleh tante Erni. Kami berlari kencang melompati teralis pagar rumah tante Erni yang tingginya hampir 2.5 meter. Kami pun berjatuhan bergulingan ke bawah, untuk kemudian bangkit dan berlari lagi menuju jalan keluar, terus berlari melewati beberapa blok rumah sampai kami merasa safe, lalu berhenti dengan nafas tersengal saling bertimpalan.
Setelah kami bisa menguasai keadaan dan lalu mengembalikan keberanian, kami merapat di sebuah kedai minum yang masih open untuk membeli coke sebagai penuang dahaga sekaligus meredakan ketegangan kami.
Teman Udin yang relatif lebih berpunya, mengeluarkan duit dari kantongnya dan membeli hamburger yang kami potong tiga lalu kami melahapnya dengan rakus. Rupanya energi muda kami sangat terkuras.
Heru temen tertua mengatakan kepada saya. Kau hebat Bambang! Aku pikir kau memang sudah cukup dewasa, Bambaaang! Lanjutnya memuji.
Tetapi saya tak begitu hirau akan ucapan mulutnya. Saya lebih banyak berpikir tentang tante Erni.
Dan saya yakin, bahwa tante Erni sama sekali tidak menyadari apa yang telah diperbuat oleh kedua kaki indahnya kepada kami.