Hei! Sekarang, apa ceritamu, Bambang? Tanya kedua mereka serempak. Membuat saya gelagapan, saya merasa tersudut kerna saya sama sekali nggak punya kisah tentang wanita. Mereka menunggu-nunggu bualan saya, tentang sepak terjang saya dengan perempuan lain, tapi saya betul-betul mati angin. Sumpah saya enggak pernah punya temen wanita seorangpun, apalagi pacar.
Wah! Ternyata kamu culun, Bambang! Sentak si Heru, membuat saya tersinggung di cap culun. Hati kecil saya tentu saja menolak culun, membuat saya akhirnya berpikir keras untuk menyatakan jati diri di muka mereka.
Oke, oke! Sekarang ikut aku! Saya pun mengajak mereka berdua bergeser, dan menyeret mereka berjalan menyusuri pedestrian. Kedua manusia senior ini senyum-senyum, separuh meremehkan si bontot ini, tapi mereka menurut saja mengikuti langkah saya, hingga kami tiba di sebuah rerimbunan semak yang berada di jalan masuk sebuah rumah besar. Â
Kala itu jam menunjuk 9:30 malam, dan saya merunduk dari balik semak sekaligus memerintahkan kedua kakak itu bersama-sama sembunyi, untuk lalu mengintai rangkaian kaca depan sebuah rumah yang masih benderang sehingga tampak ruang livingnya yang cukup luas. Dan saya menunggu, sementara si dua teman sudah brisik, menerka-nerka apa yang akan saya kerjakan.
Jangan brisik kawan! Saya memperingati. Dan jangan sampai body kalian terlihat dari arah pintu depan itu! Ingat, ikuti perintahku! Perintah saya tegas. Dan anehnya mereka menurut.Â
Tak lama dua menit kemudian kami melihat bayangan bergerak di balik kaca pintu besar, bayangan yang semakin jelas dan menunjukkan sosoknya, seorang wanita semampai terlihat berjalan gemulai, dia bergerak mengambil kursi dan duduk dengan menumpangkan kedua kakinya.
Heh! Bukankah itu tante Erni? Kawan Heru berdesah, dan saya segera menangkup mulutnya untuk menyumpal ocehannya lebih lanjut lagi. Sssst..! Sergah saya menenangkan.
Dari balik gorden kaca yang transparan, kami melihat tante Erni duduk menghadap pintu kaca besar depan sehingga kami bisa menatapnya langsung dan lurus.Â
Tante Erni tampak santai, perempuan itu terlihat membaca majalah ditangannya, sementara kedua kakinya yang jenjang bersilang tumpang. Salah satu kaki panjang yang indah itu berjuntai dan sesekali bergoyang lembut.Â
Keenam mata kami mulai menatap tanpa berkedip, terlebih kedua karib senior saya, keduanya terlihat membuka mulutnya tanpa disadarinya. Ketiga kepala kecil kami bersembulan dari balik bush dedaunan, memandang tante Erni yang memakai rok pendek berbatas diatas kedua lututnya, sedikit tertarik ke atas akibat posisi duduk santainya.
Tanpa aba-aba semua mata kami mengikuti bagian demi bagian, hingga ke bagian paling atas sepanjang mata bisa memandang dengan rona yang semakin memutih pula. Tubuh saya yang paling mungil diantara tiga kami, menjadi tumpuan kedua superior ini guna menjenjangkan leher mereka supaya mereka lebih jelas memandang ke depan.