Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Buang Gas

15 Januari 2022   09:03 Diperbarui: 15 Januari 2022   09:06 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber picture dari pixabay.com

Hari cukup panas sehingga memikat saya yang sedang luntang-lantung memasuki kedai yang dingin. Mirip sebuah bar setelannya. Beberapa patron atau bodyguard menyilakan saya saat kepala saya menyembul dari pintu kayu bar.

Sekaleng bir akan menyegarkan mestinya! Saya bergumam, dan para centeng kedai membuat senyum mereka yang kaku di wajahnya.

Saya pun mengambil kursi meja bar membelakangi tangga kayu lantai dua meja minum atas, sekaleng bir telah tersaji di hadapan saya dan saya hanya perlu merengkuh dinginnya dari kaleng luarnya yang berlumuran lelehan embun kondensasi udara. Telapak kedua tangan saya pun menjadi sejuk hingga merembet ke dalam kalbu.

Saat saya mulai merobek kait kalengnya, saya mendengar kegaduhan dari arah punggung saya. Seketika saya berbalik dan menoleh ke arah tangga, tampak seorang lelaki tua dan seorang muda berdebat di anak tangga.

Sang pemuda yang duduk di anak tangga berteriak dengan kepala menengadah kepada si tua yang melangkah menuruni tangga di sisinya. Sementara sang kakek terlihat mengacung-acungkan tongkat di tangannya.

"Hei, pak Tua! Kau buang angin di muka saya?" Pemuda itu berteriak masih dengan posisi duduknya di anak tangga.

Si tua berhenti dan berbalik badan, menggoyang-goyangkan tongkatnya ke dekat wajah young man itu.

"Hei anak muda! Kau menghalangi jalan! Kau angkat bokongmu dari sana!" pak tua membalas kata.

Saya memandang kedua generasi itu bersilangan kata, demikian pula dengan seluruh penikmat likuid yang ada di situ termasuk pramu bar dari balik meja panjangnya, semua memandang kedua generasi bersilangan itu.

"Orang tua payah!" Pemuda itu berteriak lebih kencang. "Aku bisa saja menyepak bokongmu!" Tambahnya digjaya. Namun opa kolot itu masih tampak ngeyel untuk melayani perdebatan.

"Sepertinya demikian, anak muda! Rupanya kau duduk di situ dengan wajahmu di papan dan berbicara dengan mulut bokongmu!"

Hal ini pun menyulut situasi semakin panas dan semakin tidak kondusif, kami semua menahan udara, seakan menjadi penonton sebuah sinetron yang mulai dipenuhi dialog-dialog ampas.

"Jaga mulutmu pak Tua! Kau kira aku hanya menggertak untuk menendangmu?" Balas pemuda itu dengan mata berapi dan dia bangkit dari duduknya. Namun opa tampak begitu tenang, wajahnya malah tersenyum samar.

"Bullsh*t!" Jawab sang kakek sembari membalikkan badan ringkihnya, lalu melanjutkan langkahnya menuruni anak tangga dengan menekan erat-erat tongkatnya ke lantai kayunya bagai tak terjadi sesuatu apapun.

Sementara pemuda hanya menatapnya dari tempatnya berdiri tanpa bereaksi, dia tampak kesal dan bagai salah tingkah memperhatikan orang tua itu melangkah turun meninggalkannya di duduk tengah anak tangga.

Saya menatap mengikuti gerak si orang tua perlahan berjalan menurun hingga menapak dasar lantai, meski langkahnya gontai, namun kedua kakinya menopangnya dengan seimbang, seakan dia sudah terbiasa bertahun-tahun dengan situasi seperti begini.

Seorang guard yang berdiri di sisi saya duduk, juga ikut mengawasi slow motion opa itu.

"Orang tua itu mabuk!" Bisiknya.

"Yeah! orang tua itu mabuk!" Gerutu yang lainnya.

Setelah insiden berlalu, kembali saya memegang kaleng yang tadi batal saya buka, namun terasa sudah, dinginnya jauh berkurang dan membikin selera saya untuk minum pun musnah. Saya pun menggeser silinder tin itu menjauhi, sambil memandang berkeliling seputar isi bar. 

Seketika itu pula saya menyadari bahwa semua penikmat bar tampak larut dalam keadaan mabuk, wajah-wajah mereka memerah dan kulitnya tertarik.

Saya pun berniat meninggalkan kedai ini, namun sebelum saya beranjak dengan rasa segan, saya melihat sang pemuda itu masih terduduk di anak tangga semula, wajahnya tampak kusut, seperti masih memikirkan soal kentut yang baru saja di lakoninya. Entahlah! 

Dari ketermenungannya, barangkali dia juga memikirkan hal lain yang berkait dengan argumennya melawan orang tua yang melewati duduknya sehingga tanpa sengaja membuang gas persis di depan wajahnya.

Saya pun beranjak perlahan meninggalkan kedai minum tanpa membawa atau meninggalkan perasaan apa-apa. Saya hanya berharap hari lain akan jauh lebih menarik daripada kejadian yang buang gas hari ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun