Dan saya mulai mengambil sigaret dan menyundutkan api lalu menghisapnya seakan memberikan ruang di dalam kepala saya untuk menjadi lebih enteng. Namun tak berhasil. Saya pun meninggalkan keduanya, berjalan ke ruang makan untuk lebih mengendurkan otot pelipis saya dan memakan beberapa kudapan disana.
Tak berapa lama, saya mendengar tambahan satu suara perempuan yang paling saya kenali, sehingga paduan suara duet telah menjelma menjadi bunyi trio. Intonasinya bertambah keras hingga terdengar sampai ke ruang saya duduk di meja makan.
Setelah mengabukan rokok ketiga, saya beranjak menuju ketiga mereka, yang sedang mengeluarkan suara mereka yang begitu bersemangat. Saya pun memotong keasyikannya.
Maaf ladies! Saya pikir saya harus pergi! Kata saya sedikit membungkuk di hadapan mereka.
Sekejap ruangan pun terasa senyap, sontak ketiga pasang mata perempuan itu menatap saya menghujam, kemudian kedua wanita beralih menatap tajam ke wanita yang termuda, seakan memberikan satu kode yang sudah familier untuk saya.
Hei! Apa yang akan kau kerjakan, lelaki payah? Perempuan termuda yang adalah istri saya bertanya kepada saya dengan suara keras.
Apakah kau akan mabuk lagi? Lanjutnya.
Well, sayang! Janganlah berkata demikian. Aku yakin ibumu tak akan rela mendengar tutur kata seperti itu! Jawab saya sabar seperti kehabisan bahan. Lalu saya melangkah keluar, meninggalkan ke 3 wanita itu.
Saya menuju garasi dan menyalakan mobil, menggelinding keluar halaman, ngegas perlahan seperti perasaan di dalam  dada saya, terus melaju ke jalan turun menuju rumah minum saya, tempat kisah muda saya.
Tiba di halamannya yang hijo royo-royo, saya memarkir SUV, lalu berjalan memasuki bar yang tidak pernah membicarakan segala gosip, kecuali kesunyian.
Memasuki lorong pintu jatinya dan menyaut minuman botol dan mengambil tempat duduk tak jauh dari meja kayu hutan bar yang begitu bersahabat dan berbaik hati dengan segala yang ada di dalam perasaan saya.
Saya pun menatap sekeliling, betapa senyapnya seperti tempat kembali ke idaman orisinal, tanpa noise dari apa-apa yang telah saya tempuh selama ini.Â
Saya mengangkat botol kaca minuman, memandangi gelembung-gelembung gas di dalamnya yang bergulungan berkontras tertimpa cahaya kuning dan biru lampu tabung neon di langit-langit. Â
Saya pun beralih untuk duduk lebih ke beranda, seakan mau menegaskan bahwa permpuan termuda itu pernah jumpa pertama dengan saya di titik ini sebelum segalanya cepat berubah.
Lalu saya mereguk liquid dari botol bening di genggaman, perlahan, dan berpikir bahwa, hanya inilah segalanya yang saya butuhkan.