Hampir seluruh hari hujan sekarang, bumi pun basah. Saya masih memperhatikan gambarmu yang duduk di tepi kolam berair biru. Saya tidak tahu kamu ada dimana, hanya menangkap capture di layar kristal cair, kamu sedang merentang kedua lenganmu yang kurus. Heh! Saya pikir bukan, kedua tanganmu ternyata lentik sesaat saya zoom kotak gambarnya.Â
Kamu pula menulis notes yang cukup penuh untuk sebuah kabar ke dalam layar saya. Lalu saya membalasnya. Saya pikir itu adalah kabar terakhir darimu, kerna saya tak lagi pernah mendengar tentangmu panjang sekali.
Jax! Kau adalah lelaki waktu pertama dan waktu terakhir. Sedang paruh waktu di tengahnya hanya kehilangan!
Demikian Inka, perempuan halus itu, menutup tulisan di bawah gambarnya.
Saya lambat membalasnya dari keyboards yang kecil.
Saya harap kamu masih menulis puisi gila tentang Malaikat dan Tuhan dengan huruf atas, dan kamu tahu saya selalu tergila-gila dengan liriknya, dan selalu lapar menanti setiap hurufnya seakan tak pernah kelar.Â
Namun setelahnya jaringan seluler kamu hilang, tanpa pulsa tersambung, padahal aku menunggu puisi silam yang tertinggal. Dan perempuan itu selalu begitu, tak hendak menyelesaikan sajaknya yang selalu mengambil kisah, Malaikat dan Tuhan.
Lama saya memandangi layar persegi merona di tangan, dan kepala saya lalu menerbangkan hampir semua isinya.Â
Ternyata kita memang pernah begitu dekat di alam studi susastera di rumah kampus yang tidak banyak berbicara apa-apa kecuali paper. Inka dan saya pernah begitu dekat, maksud saya dinding indekos kami masih satu genting.Â
Namun kami hanya bertegur sekali dua di jalanan pulang atau pergi universitas, juga sesekali melihat catatan perjalanan cipta sajak yang di bebankan lembaga ini, kerna kami tau kami tidak ngepop tapi mungkin memiliki signature dalam susunan huruf-huruf. Â
Selebihnya hanya kosong yang besar dan cinta diam-diam melalui tulisan, bacaan, dan potongan-potongan kecil foto, kerna saya tidak pernah sekalipun menyentuhnya .
Saya pikir, saya akan lebih mencintainya bila saja, saya yang sekarang sedang duduk di sebuah ruang kecil ini, menggulung sebatang rokok dan mendengarkan suara gemericik  kamu di kamar mandi.
Mengakali yang tak juga terjelma, kali ini saya menelusuri kenangan, ketika beberapa kali kami memang bersurat sehabis memakan kuliah dan mulai menunaikan kehidupan.
Inka memang berkembang cepat, dia ingin melompat. Padahal puisinya memikat soal serial Malaikat dan Tuhan yang memenuhi kertas-kertasnya saya tahu historinya.
Tapi Inka memintasnya dan pergi dengan  orang-orang yang terkenal dan menulis tentang yang terkenal pula, seperti dia menemukan jalan lurus  mengisi goresan Malaikat dan Tuhannya.
Orang-orang terkenal berkarat itu berseliweran di sepanjang perjalanan Inka, dan dia kadang meletupkan hurufnya kepada saya.
Jax! Kau tau? Ini melelahkan! Keluh tulisan tangannya.
Saya menyahuti dari sudut jawaban yang konyol  dari seorang penyair pencemburu yang tidak pernah terangkat.
Tentu saja, Inka! Apa yang anda temukan adalah, bahwa yang terkenal, khawatir tentang ketenaran mereka, bukan khawatir tentang seorang gadis muda yang cantik!
Jax! Saat ku bangun fajar, aku tak menulis lagi tentang Malaikat dan Tuhan? Lanjutnya menulis pedih.
Pastilah Inka! Saya sering membaca mereka, mereka melihat malaikat yang beterbangan di sekitar mereka, sedang Tuhan sepertinya telah pergi! Mereka tidak akan mendengarkanmu, Inka! Jawab saya menutup sambungan.
Dan seiring waktu itu pula, saya pernah berdiskusi dengan teman editor dan penerbit meski mereka sedikit terpencil. Saya bilang bahwa perempuan ini memiliki cahaya.
Kau harus mencetaknya! Dia memang gila tetapi perempuan ini ajaib! Hentak saya saat kedua teman di hidung saya tampak meragu kala itu.
Maksudmu, Malaikat dan Tuhan itu? Tanya mereka.
Tentu saja! Tidak ada kebohongan di dalam apinya! Saya meyakinkan kedua pandir ini saking jengkelnya.
Dan itu tidak pernah berjalan, meski saya menginsist mereka, tapi katanya saya masih berada di tatarpenyair kedodoran dan itu membikin saya rendah dalam menguras sastra.
Saya pun meninggalkan teman textbook itu, karena ketika saya banyak menulis tentang kisah kekasih yang menghianati, ternyata itu tidak membantu. Dan saya memiliki jalan tulis yang saya pikir sama dengan jalan Inka, meski dengan lorong yang berbeda. Dia menyusuri orang-orang terkenal dan saya menelusuri cinta di belakangnya.
Saya kembali ke kolam biru di laman gambarmu yang letih, dan saya membaca lebih. Kamu mengatakan kamu memiliki bangku menangis dan itu ada di dekat jembatan dan jembatan itu berada di atas sungai. Dan kamu duduk di bangku menangis di setiap malam dan menangisi kekasih terkenal yang telah menyakiti dan melupakan kamu.
Setelahnya, saya sendiri masih menulis lagi mengikuti usia yang menanjak, melupakan hurufmu tentang Malaikat dan Tuhan, tapi saya tidak pernah mendengar kabarmu lagi. Sama sekali.Â
Lalu saya nomaden melompat-lompat di tempat-tempat kecil, ketika seseorang teman memberitakan kepada saya tentang bunuh diri kamu, dua tahun setelah itu terjadi.
Ah! Inka! Mata saya berkaca. Seandainya saya bertemu kamu di tengah waktu. Saya menyesali jika saya tidak adil kepadamu dari keadaan ini, tapi demikian pula sebaliknya kamu terhadap saya. Saya pikir itu yang terbaik seperti ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H