Ini berakhir sendirian, sungguh! Dan aku sudah menulis tanpa tidur, apalagi berpacu mengejar setoran tulisan di papan itu. Blok of the year, yang menjadi impianku semenjak sekolah esde, dan tak pernah berhenti menghantui sepanjang kehidupanku.
Luna istriku yang pernah cantik, sudah berhenti lama dengan persoalan begadang ini. Yang ku ingat sejak tubuh langsing indahnya mulai termakan usia dan lemak. Dia meminum soda, belum lagi lain-lain gula, hingga di ranjang dia berbicara sembari mereguk liquid kesukaannya.Â
Aku membungkuk mengejar bongkahan-bongkahan kertas tulisan, sementara Luna berbicara panjang dan terkadang berteriak. Aku juga mengeluarkan umpatan keras sesekali, namun perempuan itu malah mengutuk. Hingga titik deadline dari blok of the year. Bayangkan!
Kau tak akan pernah memenangkannya Robi tua! Rutuknya. Seusia kehidupanmu, kau hanya feriferal Bukankah begitu Robi? Luna, istri yang terlihat lebih pendek dari sejak pacaran, masih menggenggam kaleng sodanya. Aku menutup telinga dengan menulis babak akhir tulisanku.
Kau tidak pernah selesai kan? Tulisan itu tidak pernah berujung bukan, heh Robi! Cetusnya.
Please Luna! Aku sudah berakhir dan aku perlu tidur! Pangkasku pendek.
Apa? Tidur? Come on Robi! Kau tidak pernah tidur! Kau tidak perlu tidur bukan? Kau menelan semua tulisanmu, dan aku telah selesai dengan ini! Kau mengerti Robi! Balasnya bertubi-tubi.
Luna masih mengeluarkan suara dari bibirnya yang pernah indah, dan bunyi halus kunyahan kletikan seperti suara putaran pompa mini. Aku menyukai suaranya ketika dia mengemil, seperti lagu kenangan yang lembut yang sudah hampir punah.
Apakah kau akan diam saja, Robi? Dia bertanya sementara aku sedang bersusah payah memejamkan kedua bola mata yang terus saja mengganjel.Â
Lalu, seperti biasanya, dia merujuk ke meja tulis dan menelisik segala tulisanku. Barulah suara sosok istri yang merdu itu mulai menyepi. Aku mengerti itu telah dilakukannya sejak muda sampai sekarang tanpa satupun terluput.
Pastinya Luna akan membisu sehabis membaca segala kertas-kertasku di atas meja, dan aku idem dito, membiarkan dia dalam diam, seperti mendengarkan malam. Aku yang paling tahu di dalam kalbunya ketimbang tampilan luarnya yang berisik.Â
Mungkin Luna selalu menyimak surat-surat puisi yang pernah kubuat untuknya, dan tak pernah bisa dihilangkan dari sanubarinya. Sepertinya dia sudah tersegel dengan itu, meski sepanjang usia dia selalu mengolok-olok tentang kegagalan impianku untuk menjuarai blok people of the year.
Tak lama aku mendengar suara musik yang teratur dari tidurnya, dimulai dari intensitas yang rendah terus meninggi. Luna mengorok dengan irama yang pas, tidak ngasal, dan aku menyenanginya dia mengeluarkan bunyi saat dirinya tertidur.
Bahwa kenyataan yang disebut Luna adalah benar bahwa aku tidak pernah tidur bersama huruf-huruf yang selalu menarik pikiran dan tubuhku kembali ke meja tulis.
Hingga hari naik ke tepi jurang pagi, dan jago mulai berkokok menyapa garis sinar mentari, biasanya aku berhenti. Ku pikir ini baru saja terjadi.Â
Sepertinya kemarin dan itu berada diantara tulisan dan berita, diantara campuran fiksi dan realiti. Aku masih menulis tanpa lelap, seperti kata-kata Luna, istriku tercinta. Aku tak pernah tertidur.
***
Dan aku menguburkannya di suatu pagi yang lebih awal, kupikir. Yang ku ingat aku membawanya ke sisi tanaman berdaun hijau tua kesukaannya, yang terhampar di bukit pinggir kota. Dengan bebatuan yang jarang untuk menutupi lubang yang digali tempatnya tidur sekarang.Â
Menutupinya pula dengan tanaman satu jenis dedaunan, supaya matahari hanya menyengat hangat. Aku tidak menuliskan namanya Luna, karena ku pikir dia sudah tahu, aku memilikinya, meskipun tanpa huruf namanya.
Sehabisnya, aku tidak bisa melihat apa pun dari mataku, semuanya hanya terasa hangat yang meleleh, kabur, dan tanpa warna.
Waktu itu aku berhasil berkendara pulang dan aku naik ke tempat tidurku yang sudah sepi tak bergerak. Dan aku bisa tidur selama 5 hari 4 malam.
Aku akhirnya bangkit dari belenggu insomnia, dari belenggu blok of the year, untuk berakhir sendirian, seperti di sebuah ruang makam tanpa rokok dan kaleng minuman. Di atas kepalaku yang memutih, hanya sebuah bola lampu, tanpa meja menulis, hanya kursi tua, terduduk dengan perut gendut.
Tidak ada Luna lagi yang cerewet memprotes caraku begadang, caraku menulis tapi menyimpan segala lengkap di dalam hatinya.
***
Kondisi terakhir, aku menulis satu puisi di atas kertas bungkus gorengan, sebelum bangkit pagi itu, tanpa tulisan lagi dan kenangan tersisa, aku merambah jendela.Â
Memandang ke bawah ruang bumi di pagi hari, orang-orang diluar sana sedang membuat uang. Dokter, editor, admin, hakim, tukang kompor, tukang komik, tukang cerita, tukang kayu, tukang pipa, wartawan, polisi, tukang cukur, pencuci mobil, pelayan, koki, sopir taksi, peragawati.
Sesudahnya aku hanya merasakan melayang bersama bungkus gorengan. Mungkin beberapa akan mendapati di tanah dan membacanya, dari "puisi yang ditulis sebelum melompat keluar dari jendela lantai 8"Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H