Saya dan istri saya sekarang hanya tinggal berdua. Kami sudah memasuki usia uzur. Dua anak lelaki kami sudah keluar dari rumah kami dan memiliki kehidupan masing-masing.Â
Mereka berkeluarga dan tinggal jauh dari kami. Yang pertama berdiam di Miami, Amerika bersama dengan istri bule dan anak-anak indonya. Yang bontot serupa dengan kakaknya, telah beristri dengan dua anak dan tinggal di Eropa, di Brussel.Â
Jarak yang jauh lintas benua ternyata juga membuat jarak batin yang jauh pula. Bersama waktu yang menggelinding, mungkin anak-anak sangat sibuk dengan kehidupan keluarga dan karirnya sendiri-sendiri, apalagi mereka sudah bukan milik kami lagi, mereka sudah menjadi milik istri dan anak-anaknya.Â
Istri saya yang terkadang sambat, seolah kabar anak-anaknya seperti terputus. Saya sering menghiburnya, dengan kata-kata yang tampak bijak, bahwa mereka bukan anak-anak yang harus selamanya ada bersama, mereka adalah anak-anak panah. Terkadang istri saya bisa memahami, tetapi dikala lain waktu dia hanya melamun.
Biarkan saja kabar berlalu, selama mereka baik dan sehat selalu, it is ok! Sonya! Kata saya  kepada istri berkali-kali untuk menenteramkan rasa hatinnya.Â
Begitulah, romantisme kenangan masa anak-anak kecil sering menghinggapi kami sebagai orang tua yang post power sindrome. Â Saya sendiri yang pernah bekerja sebagai penulis berusaha kembali ke dunia penulisan yang telah lama saya tinggalkan sejak saya pensiun. Namun itu tidak berjalan dengan baik, selain gaya menulis saya sudah ketinggalan jaman, juga tidak pernah headline. Nah, itulah kami berdua jadi lebih banyak berbincang meski dalam diam.
Orang tua macam kami, makin mendekati usia yang sepertinya akan mentok, makin merasakan lonely, walaupun kami berdua sering saling menguatkan, tetapi kekosongan yang merupa di ruang-ruang rumah kami sering menjadikan hari-hari menjadi  bolong-bolong dan slow down, nyaris menciptakan hampa yang kerap menerpa.
Hingga pada suatu ketika, di suatu sore yang cerah, dan kami sedang tenggelam dalam diam di sinar matahari  yang berwarna coklat muda. Kami kedatangan tamu yang tidak pernah kami duga, yaitu seekor kucing.Â
Binatang berbulu itu melongok-longok lewat pintu depan kaca besar rumah, suaranya mengiong-ngiong, buntutnya panjang berkibas-kibas. Seperti melihat ada manusia di dalam, si kucing tamu ini mulai berdiri, kaki depannya bertumpu kaca, lalu mencakar-cakar permukaan kaca pintu, membuat bunyi yang ngilu di gusi.Kami berdua terperangah, saya pandang wajah istri yang tiba-tiba berpendar, tidak seperti biasanya yang  selalu nglentruk.
Seekor kucing?! Kami hampir bersamaan berteriak. Dan berbarengan bangkit dari sofa menyongsong pintu. Seekor kucing berwarna coklat menatap wajah kami, matanya yang bulat berkedip lambat dan mengeong seperti memohon. Mahluk permadani halus ini tampak menggemaskan, sontak membikin kami welas dan jatuh cinta di tatapan pertama.