Terima kasih Joss! Katanya dengan mata berkaca-kaca.
Jadilah gelandangan yang baik, Joss! Pesannya lagi. I will, father! Saya menjawab mantap.
Lalu saya meninggalkan rumah untuk menjalani pilihan saya, berjalan kemana kaki membawa, saya merasa bebas dengan pilihan non politik saya, yaitu menjadi gelandangan. Â
Dan betul-betul saya menjalani menjadi gelandangan, dengan uang beberapa lembar, tidur di kamar sewa murah,atau berganti suasana tidur di bangku taman. Bekerja informal, serabutan, bahkan menulis puisi dan cerpen di media bersama itu, dalam mencari nilai buat perjalanan kehidupan saya juga.
Malam berganti hari, hari berganti bulan, dan bulan berganti tahun, dan tahun berganti lima tahun yang menginjak periode pemilu lagi. Saya pun teringat ayah saya tentu saja, juga dengan pilihan politiknya. Sedang saya  sendiri ternyata belum juga menemukan benang merah yang jelas.Â
Saya pikir mungkin gelandangan itu tahu sesuatu, tetapi dari pengalaman bergelandang selama ini, saya menemukan bahwa ternyata sebagian besar gelandangan ingin menjadi kaya pula. Dan mereka baru saja gagal dalam hal ini, termasuk diri saya sendiri.
Saya merasa terjebak di antara ayah saya dan gelandangan, saya tidak punya tempat untuk pergi dan saya berjalan bersama politik dan tidak politik, cepat atau lambat saya harus pergi juga tanpa pilihan. Tidak pernah memilih partai X, tidak pernah memilih pilihan lain.
Namun pilihan terakhir datang juga, yaitu pilihan untuk saya pulang kembali ke pangkuan ayah, karena saya pikir akhirnya, kami memiliki tujuan yang sama dengan pengkondisian yang ada. Keinginan menjadi kaya di dalam jalan pikiran masing-masing dari kondisi aktual.
Ketika saya tiba di rumah kembali, saya temukan ayah telah begitu lemah, dan saya kerap memapahnya untuk kami bisa bersantap lagi dengan menu seperti dulu, yaitu kacang dan bubur.
Sebelum wafat, ayah mengatakan, bahwa ini tidak pernah berhenti ya! Saya mengangguk sedih dan saya berjanji akan memakamkan keduanya, sambil saya mengatupkan mata terpejamnya. Dan saya memakamkan ayah terlebih dahulu, kemudian juga menguburkan yang satunya, yaitu kesia-siaan.Â