Terima kasih Tuan! Ningsih sedikit menunduk.
Ini untuk seminggu ke depan, Ningsih! Dan.. kau bersihkan semua ini. saya akan keluar makan!
Baik Tuan! Jawabnya tersenyum.Â
Saya mengerlingnya sekejap dan menatap wajah bulatnya. Ingin saya menciumnya tetapi saya tak pernah mampu, entah apa yang ada di dalam kalbunya. Saya pikir dia separuh mengharapkannya tapi saya meski kerap tergoda tubuhnya, kepala saya tidak pusing-pusing amat memikirkannya.Â
Ningsih perempuan pekerja dan harus membereskan kamar saya yang selalu berantakan, mencuci dan membelikan obat atau apa saja jika vertigo saya kumat. Saya tak menyentuhnya, karena dia perempuan kuat yang harus menghidupi satu anaknya yang kecil.
Bruukk! Saya membanting pintu dari luar, meninggalkan Ningsih mengambil oper kamar saya yang kumuh. Satu jam saya sudah kembali sekalian merogoh atm karena baru saja memenangkan sepuluh juta dari lomba tulis.
Benar saja, kamar saya baru seperempat saja beres, saya tatap dahi perempuan Ningsih berkeringat.
Kau pulanglah Ningsih!
Sedikit saja lagi tuan!
Ah! Sudahlah! Tinggalkan saja! saya menggayut pundaknya menuju pintu dan memberikan beberapa lembar uang tambahan. Dia menganggukkan paras bulannya dan permisi.
Hmm, Ningsih pekerja yang pelan! Bisik saya di dalam hati sambil menghirup udara di kamar yang masih sumpek dan masih berantakan.
Mungkin belum beberapa lama perempuan itu berlalu, ketika ada ketukan di atas kayu pintu. Saya sedikit naik marah.
Siapa itu? Saya berteriak. Apa yang kamu inginkan, kawan?