Saya mengunyah permen karet sembari rebahan, mengeluarkan dompet lusuh dari celana jin yang degil. Saya melempar dompet yang tebal keatas meja hingga berdenting karena menerjang gelas sisa kopi sepagi. Barangkali sedikit tumpah atau ruah semua ampasnya, terserahlah, saya malas peduli sebebas membuang tubuh saya ke ranjang.Â
Jendela dinding kamar masih rapat tertutup sedang kacanya yang rengat mengerlipkan cahaya matahari tinggi. Rasa sumuk sejak saya masuk kamar sudah merangsek, membuat kulit saya lembab berkeringat. Menyalakan sebatang rokok yang akan membunuhmu, dan saya menyerap asapnya begitu dalam. Â
Halo! Ningsih? Kau datanglah! Aku membayar mu hari ini! kataku memegang hanfon.
Segera tuan! Terdengar jawaban halus dari seberang telinga.Â
Saya membuka kemeja dan sekaligus membuka jendela. Serta merta segala asap dan udara bertekanan seperti meletup keluar kotak. Saya menghirup segar dan melempar sigaret dua hisap keluar kotak jendela. Membuka almari es dan membelah can, serta merta gas dioksidanya mengepul dengan busa meleleh. Saya meneguknya rakus.
Menyalakan radio berlagu opera. Oh! Saya suka memang opera Italia, La Gioconda! Sering saya memutarnya saat hati bebas. Dan langsung saja hati menjadi berbinar, bersemangat dan tiba-tiba terbelah-belah. Saya menyukainya, karena soprano dan tenore yang keluar, tegar dan menyayat.
Lalu saya mendengar samar ketukan kayu di tengah balada Ponchielli yang merasuk kedalam jiwa saya yang posesif.
Engkaukah itu Ningsih? Saya berteriak.
Ya Tuan!
Masuklah! Saya membukakan pintu, perempuan empatpuluh itu segera saja membulatkan matanya memberi kode tanya musabab dia hadir di kamar saya, meskipun dia sudah mengetahuinya.
Yayaya..! Saya meraih dompet di atas meja yang rusuh oleh campuran kertas, laptop dan sisa minuman. Membuka dan mengambil lima lembar dan menjulurkannya .
Terima kasih Tuan! Ningsih sedikit menunduk.
Ini untuk seminggu ke depan, Ningsih! Dan.. kau bersihkan semua ini. saya akan keluar makan!
Baik Tuan! Jawabnya tersenyum.Â
Saya mengerlingnya sekejap dan menatap wajah bulatnya. Ingin saya menciumnya tetapi saya tak pernah mampu, entah apa yang ada di dalam kalbunya. Saya pikir dia separuh mengharapkannya tapi saya meski kerap tergoda tubuhnya, kepala saya tidak pusing-pusing amat memikirkannya.Â
Ningsih perempuan pekerja dan harus membereskan kamar saya yang selalu berantakan, mencuci dan membelikan obat atau apa saja jika vertigo saya kumat. Saya tak menyentuhnya, karena dia perempuan kuat yang harus menghidupi satu anaknya yang kecil.
Bruukk! Saya membanting pintu dari luar, meninggalkan Ningsih mengambil oper kamar saya yang kumuh. Satu jam saya sudah kembali sekalian merogoh atm karena baru saja memenangkan sepuluh juta dari lomba tulis.
Benar saja, kamar saya baru seperempat saja beres, saya tatap dahi perempuan Ningsih berkeringat.
Kau pulanglah Ningsih!
Sedikit saja lagi tuan!
Ah! Sudahlah! Tinggalkan saja! saya menggayut pundaknya menuju pintu dan memberikan beberapa lembar uang tambahan. Dia menganggukkan paras bulannya dan permisi.
Hmm, Ningsih pekerja yang pelan! Bisik saya di dalam hati sambil menghirup udara di kamar yang masih sumpek dan masih berantakan.
Mungkin belum beberapa lama perempuan itu berlalu, ketika ada ketukan di atas kayu pintu. Saya sedikit naik marah.
Siapa itu? Saya berteriak. Apa yang kamu inginkan, kawan?
Saya adalah penerbit anda! Seseorang berteriak di luar dan saya berteriak kembali.
Saya tidak punya penerbit! Cobalah kau cari tempat di sebelah!
Dan dia balas berteriak. Anda adalah penyair itu, bukan? Lalu saya menghampiri celah kayu pintu, mengintipnya untuk memastikannya bahwa itu bukan orang kurang kerjaan. Â Perlahan membuka pintu dan menyuruh mereka masuk. Ada dua orang sekarang di seberang saya. Saya mengenalinya satu.
Bukankah kau penyair itu? Aku bicara ke satunya, dan dia mengangguk serta menarik lenganku.
Orang ini Charles! Dia seorang editor. Orang baru dan kami berpandangan, tapi kemudian matanya berkeliling ke seluruh dimensi kamar saya. Saya melenguh.
Oke duduklah! Saya menawari dua kaleng minum, hanya penyair tamu yang mereguk, sang editor tak menyentuhnya, jadi saya meraihnya lagi dan, Â kreek! Saya menyobek penutup can dan menyeruputnya.
Orang editor berwajah dingin dan berbaju licin itu tidak banyak bicara bahkan tidak bergerak. Dan saya menjelaskan bahwa saya bukanlah seorang penyair atau esais dalam pengertian yang biasa. Saya memberitahu mereka tentang preman-preman dan copet di sekeliling dinding kamar saya. Berdekatan dengan beberapa penjara dan perempuan malam, juga penghutang yang di kejar-kejar. Anak-anak silver dan asongan dan segala yang serupa.
Namun editor tiba-tiba mengeluarkan lima majalah dari portofolio headline dan melemparkannya ke meja sampai menggulingkan kaleng-kaleng kosong. Lalu editor klimis itu berucap tentang penyair-penyair modern, kantoran. Esais empat el langganan baris kepala majalah yang bersanjung, bergelar hadiah bulanan seperti gajih.Â
Katanya hidup mereka sekarang rapi, serapih pantunnya, bersih, selicin  kukunya. Editor itu hampir tak berhenti mengoceh kemegahan dan istana penyair dan lain-lain.
Saya hanya menatap bawah, dan meminta maaf untuk kaleng-kaleng yang berserakan, kertas berserak, janggut saya, bau dan segala yang ada di lantai kami bertiga ini.
Lalu tamu itu menguap sehabis kelelahan mengenalkan tingkat portofolionya yang seluas langit, saya sendiri yang menahan kantuk demi mereka dan memohon untuk melanjutkan obrolan kekuasaan awan mereka.
Tapi tiba-tiba editor berdiri, kedua kakinya mengais menyingkirkan gulingan kaleng minuman di lantai.
Hei! Apakah anda akan pergi? Saya berkata. Tapi kedua manusia itu tak mau berbicara lagi, editor dan penyair genteng itu berjalan keluar pintu meninggalkan tubuh saya yang mulai berkeringat.
Dan kemudian saya pikir mereka mungkin tidak suka dengan apa yang mereka lihat. Mereka tahu bahwa saya bukan penjual minuman kaleng atau kaset opera, atau stoking robek yang lama teronggok di bawah ranjang. Â Kuku yang kotor, brewok yang tidak sama panjang dan baling-baling kipas yang berdebu yang tidak berhenti berputar memusingkan.
Saya pun merengkuh kaleng minuman baru dan memecahkannya sambil memungut  serakan lima majalah yang ditinggalkan kedua tamu tadi, lalu membaca tulisan-tulisan di sampulnya. Mata saya mendapati ada nama saya salah satunya. Tiba-tiba saya seperti merasa, membaca kisah orang berkerumun sedang menjepit seorang bedebah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H