Kemudian aku mengambil tempat ke depan orang-orang itu, tepat di sebelah batang pohon yang tampak semakin kosong dan mati.
Saudara sekalian! Maaf saya harus mengatakan ini! Kataku sedikit volum. Dan mereka menatapku sambil meredakan tangis.
Saya pikir setiap kita yang hidup memiliki satu ruang dalam, begitu juga yang telah mati. Perkara kita sudah atau belum memakainya itu menjadi persoalan lain. Namun, please, hormatilah ruang dalam yang dimiliki masing-masing!Â
Aku mengucap seperti pidato. Â Dan hadirin yang kelihatan berduka itu menghentikan isak tangisnya. Entah mereka mengerti atau tidak, aku tak memikirkannya. Aku hanya menjaga suasana bahwa baru saja terjadi kekosongan pohon muda ini dan penghuni pohon ini tentu saja masih dalam keadaan ketidakpastian.
Aku yang sering bertemu dengan pohon ini mengerti betul bahwa menghadapi kekosongan dari ruang dalamnya adalah suatu pengalaman baru, meski akhirnya aliran alam akan membimbingnya.
Akhirnya mentari senja melewati kami, dan mereka yang bersimpati satu persatu mengundurkan diri dengan menelan kegelapannya sendiri-sendiri. Sedang aku masih menemani, berdiri disebelah batang kayu ini, aku hanya berdiri mematung ketika seekor burung hinggap pada ranting teratas pohon kosong itu.Â
Burung mungil itu berkicau dengan suara rendah, namun suaranya hampir tak terdengar, nyaris hilang tertelan angin senja. Aku memandang burung belia itu dan mengerti kehadirannya.
Lama ku menysun kata untuk menyatakan kepadanya bahwa dia harus pergi. Namun sang  burung tak mau beranjak. Ku lihat mata bundarnya basah, sebagai mengatakan bahwa pohon ini adalah rumah yang dicintainya dan sekarang harus ditinggalkannya.
Kau harus pergi terbang! Kataku dengan suara halus takut menyinggungnya. Terlihat mahluk kecil bersayap itu merunduk ragu-ragu.
Terbanglah! Tak ada yang  akan menangisimu lagi! Kataku meyakinkannya. Dia mengangkat kepalanya memandangku dengan mata seperti kaca. Sebentar kemudian dia bergerak memutar tubuh ringannya, namun kembali kepalanya berputar memandangku. Aku membalas tatap matanya sebagai tanda meyakinkannya. Sehingga pada akhirnya mahluk indah itu mulai mengepakkan kedua sayap dan mulai mengangkat tubuhnya perlahan dan meninggi dan semakin tinggi.
Aku memandangnya sampai dia menghilang, sambil berusaha menyembunyikan linangan air mataku. Aku takut seandainya dia mendengar tangisanku ini, mungkin saja akan membuatnya kembali ke tubuhnya, kayu aslinya ini, dan kupikir itu mungkin salah. Karena dia masih begitu muda.