Saya masih berbaring di ranjang dingin dalam kegelapan dan dalam kesedihan, memandang melewati kotak jendela hitam saya. Langit tengah malam hanya menggambarkan kesepian yang membungkus selesainya hari.Â
Saya jarang bisa segera terlelap memikirkan tahun-tahun yang menjatuhkan saya ke tempat yang tidak semestinya. Sementara dari bulan yang bundar, saya selalu menemukan kekasih-kekasih, yang lain daripada yang lain. Perempuan-perempuan yang tidak biasa, tapi melulu memesona. Saya tak mampu menghindari dari pikatan mereka yang saya tahu bahwa mereka sudah terikat.
Mungkin saya memerlukan seorang ahli jiwa atau seorang psikolog untuk menolong penyimpangan ini. Tetapi, meski hasrat waras itu kadang-kadang muncul di dalam otak saya, kembali berulang saya mengabaikannya. Karena keinginan itu demikian perkasa, menguasai sekujur jiwa raga saya. Tidak ada tempat untuk akal sehat saya, ketika saya jatuh cinta, dan jika sudah demikian saya akan menjadi kekasih yang gila.
Entah apa latar belakangnya, saya tak berselera untuk memikirkannya, yang jelas saya mulai benar-benar merasakan jatuh cinta pertama ketika saya berumur tujuh belas.Â
Saya bertemu dengan perempuan yang berusia lebih dewasa dan telah memiliki pacar. Saya ingat, saya menulisinya surat cinta, tapi dia tidak membalasnya. Namun saya pantang mundur, saya merasakan cinta yang demikian menggebu, sehingga pada kesempatan yang ada, saya menemuinya untuk mengutarakan kasmaran hati saya.Â
Perempuan itu mendengarkan dengan mata yang selalu saya ingat dan wajahnya yang menyembunyikan kegelian. Saya bisa melihat dan merasakan kata-katanya. Dia tersenyum kecil dan menggeleng sambil mengusap bagian atas kepala saya seperti saya ini anak kencur.
Hei! Ini keliru, pria muda! Katanya.
Saya mencintai kamu! Sahut saya menghujam. Mata perempuan indah itu membeliak meneliti sekujur tubuh saya.
Tidak! Yang perlu kamu perbuat adalah bergaul dengan perempuan seusia kamu! Dan ingat aku telah mempunyai pacar!
Bukannya 'shock', suara merdu perempuan itu semakin meninabobokan saya dan kepala saya serasa melayang. Spirit saya pun memuncak untuk menembus batas adrenalin saya.
Saya ingin mati bersama kamu! Timpal saya tidak peduli.
Hei! Perempuan di hadapanku menutup bibir merahnya dengan tangannya seperti melihat  sesosok hantu.
Hanya saya yang bisa membahagiakan kamu! Jawab saya mantap.
Tidak, pria muda! Kamu harus pulang dan menemukan jalanmu!Â
Terdengar di telinga saya suara merdu yang tegas mengiris seperti putusan pengadilan. Lalu dia berdiri di ketinggian dan meninggalkan saya dengan langkah anggun tanpa suara.
Semenjak hari itu, hati saya  patah berkeping-keping. Dan ternyata patah hati parah yang pertama ini, membimbing saya ke dalam bumi yang kurang lumrah.
Sejalan dengan proses kedewasaan saya kemudian, saya seperti menempatkan diri saya untuk tidak bisa jatuh cinta kepada gadis biasa. Tak ada hormon 'cupid' bagi gadis-gadis 'single' di hati saya, ketika mereka hadir silih berganti ke dalam panggung lelaki saya. Saya tidak pernah tertarik dengan perempuan-perempuan jomblo, saya mengalami mati rasa terhadap nonik-nonik bujangan, secantik apapun, saya merasakan kekeliruan ini tapi disisi lain saya menikmatinya.
Disisi dominan bahwa saya mulai merindukan untuk memiliki kekasih yang telah berpasangan, saya terobsesi dan melihat perempuan yang sudah memiliki pacar tampak memesona. Dewasa dan menyimpan cinta rasa 'original', mapan dan tidak kecentilan.
 Tidak terhitung, kali ke berapa saya memburu wanita yang sudah berdua dan selalu berakhir luka. Mereka menertawakan saya dan mengatakan saya abnormal, sampai ada yang menyebut saya 'rai gedeg'. Seperti duri kecil yang melukai namun dagingnya akan terbakar. Berulangkali sampai saya merasakan kenikmatan akan penolakan cinta saya kepada perempuan yang telah berpasangan. Hal ini seperti  menambah imun saya untuk mendulang cinta segitiga tanpa putus asa.
Menjelang tahun ke lima penyimpangan saya, akhirnya saya berjumpa dengan seorang perempuan cantik di sebuah kafe.
Saya sengaja modus mengambil kursi tepat berseberangan dengan dia yang duduk bersebelahan dengan seorang lelaki. Tampak mereka saling berbisik mesra dan berbagi tangan sambil sesekali mereguk kopi berasap.Â
Nafas saya sedikit memburu, bergelora ketika mencuri pandang gadis berlelaki itu. Perempuan itu demikian ideal, cantik dan memiliki pacar pula yang membuat saya lebih tertantang. Tak lama keberuntungan datang, sang lelaki berdiri dan mencium perempuannya lalu meninggalkannya sendiri. Saya menanti sekejap dan tanpa jeda panjang saya mendekatinya dengan elegan.
Boleh saya duduk menemani anda? Saya menawarkan diri seperti 'gentleman'. Perempuan indah itu menyibakkan rambut panjangnya, sekilas mata sejuknya menatap saya. Bibir delimanya bersungging pesona.
Mmmm..boleh, silakan! Turturnya lembut.
Saya Kevin! Saya mengulurkan tangan dan perempuan itu mengambilnya.
Sarah!
Maaf tanpa bermaksud tidak sopan. Sedari tadi saya memperhatikan nona dengan lelaki itu tampak mesra dan serasi. Saya membuka dialog.
Ah! Saya juga tahu bahwa anda memperhatikan saya. Balasnya sedikit menggoda.
Maaf.. ehh... apakah dia kekasih anda? Tanya saya gagah berani.
Ah! Iya, dia Joni, betul dia pacar saya. Balasnya renyah.
Selanjutnya kami pun terlibat pembicaraan tentang segala hal dari cuaca sampai sastra, hingga berakhir kepada soal yang menjadi ranah yang lebih serius.
Sebenarnya ini sedikit kurang ajar. Tapi saya tak bisa menahannya... Ungkap saya bertampang ragu-ragu.
Kenapa? Terlihat dahinya berkerut yang semakin menambah keayuannya.
Saya ingin menjadi pacar kedua anda! Kata saya tanpa tedeng aling-aling. Sekilas dia terkejut, namun sinar matanya menyurut sejuk. Dia tak menjawab hanya mengambil tangan saya dan menggenggam lembut.
Tak mengapa. Kita bisa berpacaran. Lirihnya. Dan saya merasakan cinta detik pertama yang fenomenal. Sarah, perempuan ini, demikian ideal dan memenuhi mimpi dan meluruskan jalan cinta saya yang selalu bengkok. Memenuhi dahaga kasmaran saya.
Benarkah? Saya seakan tak percaya, mimpi menjadi kenyataan, saya memiliki kekasih yang sudah meiliki kekasih, alangkah indahnya!. Seakan merubuhkan pendapat orang bahwa saya ini manusia abnormal.
Dan ketika hari jatuh larut, saya menawarkan diri untuk mengantar Sarah pulang. Namun dia menggeleng.
Kamu pulanglah dulu Kevin! Aku masih menanti seseorang. Katanya sembari matanya sedikit gelisah mengawasi pintu masuk kafe.
Joni pacarmu? Saya memastikan.Â
Sarah menggelengkan kepalanya yang masih saja menatap pintu luar kafe. Lalu serta merta lengan lentiknya terangkat melambai kearah pintu.
Dan kulihat, seorang lelaki lain membalas mesra lambaian tangannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H