Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Derita Pernikahan

30 Juli 2021   19:44 Diperbarui: 30 Juli 2021   19:48 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Imaged by pixabay.com

Kamu melamar tentang pernikahan ini pada suatu udara berkabut di dalam garis-garis hujan seperti besi kerangkeng. Betapa mengerikan untuk satu jalan pulang dari pertemuan dua hati. Kamu tahu bahwa saya datang dari ruang hijau berbau rumput dengan embun yang selalu terlambat pergi. 

Saya berlama-lama menghisap aroma daun dan itu adalah bisnis saya. Saya selalu berada dalam suatu pertemuan yang tak terduga, seperti semusim lalu saya menemukan matamu, santai, tak terduga, dan mendadak cinta.

Kala itu kita berada di jantung kota yang sedang berjalan ke dalam pelukan Mei yang penuh nyanyian. Ada lampu hijau yang menjatuhkan tirai pedestrian jalan ke dalam taman kota yang sepi di sore yang matang.

Matahari hampir selesai dan bayangan memanjang hilang, menurunkan atmosfer sejuk. Lalu kamu ikut merebakkan bau rumput bercampur aroma daun berwarna muda. Langit yang mendekat menjadikan jejak tumbuhan yang bermekaran terlihat melimpah ruah mengaburkan tempat tinggal saya sebagai mestinya.

Salah satu keindahan adalah, kita memang sedikit berjumpa, saat kamu lelaki yang termasuk menarik di titik waktu, sibuk dengan pekerjaan dari suatu sistem seperti mesin. Bergerak seirama dan terpadu membuat saya terasing dari semesta. 

Itulah tujuan saya bahwa setiap pertemuan dengan kamu selalu ada ketiba-tibaan yang menyenangkan. Entah triwulan atau kwartal, sepertinya kita tanpa sengaja bertemu lagi, tanpa rencana, tanpa apa-apa bahkan. 

Menciptakan tentang keadaan hati yang menyeret saya dan juga kamu untuk serta merta bertemu dan bertukar kepada kisah yang baru dan berbeda. Bukan kisah yang seragam dan membosankan.

Aku akan menikahimu! Kata kamu di satu sore yang berkabut. Proposal lelaki itu membuat alis saya terangkat, mata saya berputar-putar menandakan bahwa bayangan musim yang asing akan mendatangi saya. Bulu-bulu halus di wajah saya terasa meremang, sementara lengan saya seperti bersiap terbang.

Apakah pernikahan tetap akan menjadi suatu pertemuan? Saya bertanya sambil mengedipkan mata bundar saya, sementara matanya serius bersinar.

Pernikahan ini adalah kesatuan sayang! Jelas lelaki indah itu, membikin mata saya menyipit.

Maksudmu tidak sama lagi? Apakah tidak ada lagi pertemuan yang mengejutkan dan berdebar?

Dia menggeleng. Lehernya terlihat kaku. Saya membisu, berpikir bakal tidak akan menemukan rindu sesudah pernikahan?

Saat itu pula saya bersedih menatap kabut yang berganti hujan. Ingin rasanya saya terbang menembus tirai hujan untuk bermain sesuka hati. Membiarkan air hujan yang dingin merambah bulu-bulu halus di kulit saya.

Perkawinan ini akan menjadi ruang yang terkunci! Perlahan saya berucap kepada lelaki tampan itu. Namun dia bereaksi seakan tak mengerti kecuali undang-undang.

Kau bisa terus bernyanyi dan berputar! Sahutnya seakan memberi pengertian yang diyakini benar.

Ah! Betapa beratnya!

***

Hari kemudian saya sudah bertemu dengan sahabat-sahabat saya, setelah saya memotong lintasan perjalanan indah mereka. Mereka adalah tiga sahabat lama dengan penampilan berbeda. Dan kalian tahu? Setiap saya berjumpa dengan mereka yang ada hanya kebaruan yang saya rasakan, demikian pula sebaliknya bagi mereka.

Kali ini karib yang paling centil menggunakan hiasannya yang teranyar, saya menatap kagum tak henti ke sekujur dadanya yang berwarna ungu azalea, saya memeluknya karena harum violetnya membuat begitu besar hasrat untuk memeluknya. Kemudian saya melirik ke si tengah, yang selalu memakai manik-manik berwarna belang. Si periang ini selalu penuh kisah yang tak pernah membosankan. 

Dan sahabat saya yang terakhir, yang berjuluk si angsa, dikarenakan jenjang indah lehernya kali ini menggunakan kemilau emas di lehernya yang menggelinding seperti luncuran bintang.

Kami berbicara riang seperti tidak satupun sanggup menghalangi, membuat cemburu kelompok lainnya yang saya pikir juga tidak kalah cantiknya, tampak mereka memakai gaun berbulu lembut cokelat cerah.

Dan saya berdiri setengah jam di bawah pesona pepohonan hijau, dimana tak seorangpun lewat di dekatnya. Ketiga sahabat saya yang berpakaian indah itu menoleh akan ketertinggalan langkah saya. Namun seakan mereka mengerti dan membiarkan saya menyendirikan diri sambil menanti.

Bukannya tidak relevan. Saya akan bertemu anda begitu di ruang lapang hijau yang tidak terkunci! Bukan didalam sangkar perkawinan! Desahku kepada lelaki jauh.

Saya masih bergumam sendiri, sambil perlahan menyusul teman-teman itu. Saya ikut mengepak sayap saya mengikuti irama  unggas-unggas itu untuk mengambil ancang-ancang  dan terbang bersama-sama menembus keterkejutan baru yang selalu kami cari.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun