Kita terhenyak ketika ganda putra idaman Kevin Sanjaya Sukamuljo/Marcus Fernaldi Gideon kalah dua set langsung menghadapi Aaron Chia/Soh Wooi Yik di fase perempat  final badminton Olimpiade Tokyo 2020. Saya yang termasuk 'take it for granted' setiap 'the minions' bertanding, menjadi tidak siap menerima kekalahan.Â
Ada rasa perih bertindihan ketika mereka dikalahkan oleh lawan yang tak pernah menang, dengan skor 14-21, 17-21 yang putus asa dan berada di alam perhelatan semesta yaitu Olimpiade yang menetapkan sejarah agung dari olahraga.
'Ciltius, Altius, Fortius', lebih cepat, lebih tinggi, lebih kuat! Adalah motto dari 'les Jeux Olympiques' sejak pertama didirikan di Athena. Kalah itu biasa, tetapi katakan tidak untuk Kevin/Marcus! Namun kalah-menang ternyata adalah sebuah keniscayaan.
Seusai kekalahan, di gelanggang  Musashino Forest Sport Plaza, Kevin memanggul tas raketnya dengan pandangan tak percaya sementara Marcus dengan gerak tertahan merunduk  untuk lebih berlama membereskan perangkatnya. Ada sesuatu yang hilang dan atmosfer yang tertinggal di arena 'Miyamoto Musashi', sang 'samurai ronin' ini, dan untuk menebusnya tidak akan seperti lazimnya, mereka harus menanti empat tahun ke depan yang penuh lika-liku ketidakpastian pula.
Pelatih Herry Iman Pierngadi atau yang dijuluki Coach Naga Api, sehabis kehilangan, berucap bukan soal teknis melainkan tekanan berat yang dipanggul 'minions double'. Permainan tegang yang membuahkan nyangkutnya 'shuttle cock' berulang kali, pola bermain tidak normal, dan skor yang tak pernah terlampaui, adalah bersumber dari segala permasalahan mental. "Banyak tekanan yang menjadi beban kami untuk menang dan membawa pulang medali," ungkap Marcus. Begitukah?
Sebenarnya hal ini sudah terendus dengan jelas ketika Kevin/Marcus telah mengalami kekalahan pertamanya melawan Lee Yang/Wang Chi-lin (China Taipei) dengan skor 18-21, 21-15, dan 17-21 di matchday ketiga grup A. Masalah takut kalah mulai menghantui karena beban emas di pundak mereka, namun kelihatan abai, sehingga ketika pertandingan meningkat ke level lanjut, beban ini mulai menemukan bentuknya ke bentuk permainan yang gamang. Benarkah demikian?
Jika beban yang menjadi biang kerok, pasti sudah terasakan jauh waktu sebelum tanding, mungkin setahun sebelum perhelatan olimpiade beban itu sudah muncul? Jikapun demikian adalah bukan hal yang sulit untuk menepis beban rasa semenjak dini. Pengalaman Kevin/Marcus sebagai 'the special one' jelas bukan kaleng-kaleng dan bukan persoalan mental yang serius yang terus terbawa ke dalam kehidupan sehari-harinya.
Barangkali ada benarnya bahwa titik lemah teknis sudah terjadi lama sebelum olimpiade, faktor nol pertandingan, faktor latihan dan conselling mungkin menjadi bolong-bolong dimasa pandemi ini. Bisa saja perkembangan modern badminton sudah mulai 'beyond' dalam aliran  defensive ataupun offensive badminton. Batasnya sudah sedemikian tipis, sehingga pengendalian di lapangan adalah kunci dari kemenangan.
Balance ini yang tidak dimiliki Kevin/Marcus, padahal ciri khas badminton yang 'out of the box' telah menjadi keunggulan pada duo minions ini.
Saya  sendiri kurang begitu percaya bahwa faktor mental untuk berlaga di pesta tertua olahraga ini begitu dominan, mengingat yang turun adalah atlet yang sudah karatan dengan gesekan-gesekan melawan kekuatan jiwa. Mereka layaknya pergi berperang  untuk menaklukan lawan dan seharusnya sudah melampaui dalam hal mengalahkan diri sendiri.
Dari yang terlihat sepintas pertandingan terakhir ini, kesalahan minions untuk memegang inisiatif ofensif sering tidak tercapai karena beberapa hal.
Intersepsi dari net Kevin tidak terjadi untuk mengakhiri reli, malah menjadi bola setengah yang membuat Chia dan Soi menghujani smash tiga perempat, yang sulit di defense. Penguasaan drive datar adalah bukan lagi milik individu tetapi kombinasi pasangan, ini yang lebih dimiliki Kevin ketimbang Marcus. Sementara, pasangan Malay, Chia and Soi, kayaknya telah melakukan banyak latihan drive untuk membunuh lawan, jadi seperti mereka memukul dengan mata merem.
Perobahan 2v1 dari Kevin/Marcus sering kalah cepat dari laju kok, sehingga tampak ruang kosong terutama di belakang kanan.
Smash Marcus sebagai baseliner kurang berdaya guna dari powernya, entah mungkin menggunakan handshake smash, sehingga Kevin di depan net tidak mendapat umpan untuk memutus bola. Perlu forehand smash yang lebih  applied dari Marcus, karena lawan seperti Chia/Soi menggunakan lebih banyak forehand sehingga smash menjadi keras.
Barangkali peran pelatih dalam badminton modern harus lebih 'scientific' ketimbang 'on situ'. Coach badminton bisa identik dengan coah di dalam sepakbola, bisa membuat skets-skets sederhana yang memudahkan pasukan yang berlaga melihat kelemahan dan keunggulan lawan.Â
Skenario sederhana mematikan lawan dengan pukulan ketiga setelah pengembalian serve, mungkin sudah ketinggalan jaman. Antisipasi serve defense mungkin merupakan solusi yang lebih aman, sebagai kelanjutan metoda serang tersembunyi atau memanjangkan reli.
Evaluasi ke nuansa lebih baru untuk Kevin/Marcus bukan sebagai minions sudah mesti dilakukan karena ketatnya level metoda dari bulutangkis yang berlapangan sempit ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H