Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Music Pilihan

Suara Borobudur

11 Mei 2021   22:44 Diperbarui: 11 Mei 2021   22:55 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

November 1970 George Harrison gitaris pendiam The Beatles merilis single lagu My Sweet Lord sebagai artis solo dan menduduki puncak tangga lagu di seluruh dunia. Harrison menulis My Sweet Lord untuk memuji dewa Hindu Krishna, sebagai pandangan spiritualnya dalam konteks east meet west. Pengaruh panjangnya dari komposisi petikan gitar dari sang guru komposer Ravi Shankar dewa sitar India bergenre Klasikal Hindustan sangat terasa yang disela petikan dengan teknik slide gitar, hingga merupa keindahan melodius blues dan petikan sitar.  

Tepat 32 tahun kemudian group rock Oasis yang mengklaim reinkarnasi paling genuine dari The Beatles mengeluarkan single The Hindu Times yang memuncaki UK Singles Chart, juga puncak tangga lagu di Eropa. Noel Gallagher sang gitaris menulis terinspirasi dari musik India yang dimainkan perangkat sitar, dan memang jika didengarkan riff utamanya kita tidak dapat mengingkarinya.

Lepas dari intensi atau bahkan tempelan semata , musik heritage yang berbasis mantra selalu hadir tak pernah sirna. Dari perjalanan awal bunyi produksi vokal primitif yang bernyanyi untuk memuja dewa-dewi dengan doa dan mantra hingga epos atau balada kepahlawanan. Evolusi dari tiruan suara sederhana dari suara yang terdengar di alam adalah langkah penting dalam penciptaan bahasa musik. Kemudian dalam perjalanannya pasti merupa menjadi melodi yang sederhana berdasarkan beberapa nada, yang secara logis akan terjadi pencocokan nada, frasa rendah dan tinggi.

Sehingga berkembangnya rasa tonika dan struktur skala seperti tangga nada pentatonik seiring perkembangan perangkat musik dasar mengikuti urutan melodi dan rumus kadens.
Namun benang merah yang ada adalah budaya musik lahir dari kerajaan dan berubah ke tingkat sosial yang lebih rendah ditambah pengaruh asing, adalah perubahan dari instrumen timbre yang halus ke yang lebih keras diikuti perubahan warna nada instrumental dan vokal yang lebih membumi.

Sepertinya sulit untuk menelusuri secara konkrit lompatan muasal alat musik di Nusantara. Semacam keberadaan tiba-tiba ketika gambar paling awal dari himpunan alat musik (musik ansambel) ditemukan pada relief dinding candi Borobudur. Candi yang dibangun abad ke-8 oleh legenda Jawa arsitek Gunadharma, yang rebahan punggungnya dipercaya sebagai jajaran perbukitan Menoreh, dimasa diinasti Sailendra antara 780-840 Masehi.

Akar tradisi Jawa memang penuh eksotisme terlebih dengan dimulainya dinasti Mataram Kuno yang menjadi bench-mark di periode klasik Hindu-Buddha. Berdasarkan artefak, mitos dan legenda sebagai pengaya, maka keniscayaan keberadaan, sebutlah ansamble gamelan, telah mendahului proses transisi budaya Hindu-Buddha mendominasi Nusantara, yang mewakili bentuk kesenian asli Nusantara.

Merunut keingintahuan permusikan ini, mau tak mau kita kembali lagi ke akar sebagai soko-guru adalah mitos yang berperan penting di jamannya yang menuntun sejarah tanpa kehilangan kedigjayaannya. Mitologi Jawa yang berkembang membawa religiusitas bahwa gamelan diciptakan oleh Batara Guru pada 167 Saka (atau 230M).

Sebagai dewa yang memerintah sebagai raja seluruh Jawa, Batara Guru menciptakan gong sebagai sinyal untuk memanggil para dewa sebagai musik di tataran kerohanian. Kemudian diciptakan pula gong yang lain sebagai simbolisme permusikan yang penuh penghormatan kepada Sang Hyang Tunggal sekaligus memberi hak penghormatan kepada kesenian Ki Semar, Dewa Ismaya yang turun ke bumi membunyikan musik untuk estetika kesenian.

Gambar paling awal dari himpunan alat musik (ansambel) ditemukan di relief dinding candi Borobudur jelas terklasifikasi hingga kekinian, dari suling, lonceng, kendhang, kecapi, alat musik dawai yang digesek maupun yang dipetik.
Relief yang menggambarkan ansambel multi-timbre bisa diklasifikasikan kedalam metalofon, idiofon, xilofon, aerofon, kordofon, suara vokal, siter yang dipetik dan membranofon yang dimainkan dengan tangan disebut kendhang, sudah bisa dikatakan sebagai pengontrol tempo dan irama.

Pencarian akar budaya mungkin merupakan wujud tertinggi para seniman termasuk seniman musik. Setelah malang melintang hingga musik tekno dengan sistem digital, pulang ke peradaban adalah semacam pencarian jati diri. Seperti pulang ke 200 relief spesifik perkembangan musik dalam artefak Borobudur di abad ke-8. 

Fakta ini membuat banyak kalangan meyakini bahwa Borobudur merupakan salah satu pusat musik dunia, sehingga sejumlah musisi kenamaan berkolaborasi menggarap sebuah karya orketrasi spesial melahirkan kelompok musik Sound of Borobudur mengusung proyek rekonstruksi musik dari abad lampau. Dengan cara mereplika alat musik yang terpahat di halaman Karmawibanggha candi, membunyikannya sebagai suara relief peradaban musikal setinggi yang dicapai bangsa disaat itu.

Berkumpul dan menginterpretasikan bunyi, membuat komposisi, merawat gaya dalam sebuah aransemen, tanpa referensi bunyi apapun. Komposer Purwatjaraka bersama Dewa Budjana dan sang adik dewi jazz Trie Utami bersama 12 musisi lainnya berhasil menampilkan komposisi musik dari alat ini dalam festival Dharmasraya sejak Agustus 2019, sebagai laporan pertanggungjawaban dunia musik Nusantara abad ke-8.

Dengan pembatas riset yang dilakukan tergantung kepada gambar di relief Kang Purwa menjelaskan.
"Yang tergambar itu hanya dawai, tiup, pukul, perkusi, gesek cuma satu. Jadi kita bikin komposisi, yang bisa didengarkan orang dengan baik, bisa dipertunjukkan dilihat orang dan menarik. Sementara itu yang bisa dilakukan," katanya.

Sound of Hindu, Sound of Buddha, dan Sound of Gamelan, bisa menjadi basis rabaan komposisi musik yang mendekati peradaban Borobudur. Suatu multikultural bunyi yang bisa menjadi quantum leap budaya maju Nusantara di abad Borobudur. Pengayaan budaya yang menyertainya seperti busana Jawa Kuno beserta hiasan pernik kalung, anting, gelang, kelat bahu, gelang kaki, bisa lebih membantu menajamkan rasa nada purwa yang ingin di capai.

Pencapaian cipta replika yang telah dihasilkan team Sound of Borobudur tentu menakjubkan apalagi disertai pengaplikasian ke dalam komposisi lagu-lagu daerah, adalah seperti panggilan ke dalam Wonderful Indonesia. 

Berbasis Suara Borobudur, mesti pula dibuka keran musik kekinian dengan genre populer baik lunak atau keras, sehingga tidak terhenti hanya sebagai relief musik masa lalu sekaligus membuka kolaborasi dengan musik barat. Komposisi Borobudur modern dan peralatan musik modern harusnya segera dipersiapkan dengan pemain-pemain muda berbakat, sehingga cepat ditangkap oleh dunia musik, baik secara bobot dan komersial. 

Seingat saya dulu di tahun 1976 pernah ada proyek Guruh-Gipsy diprakarsai oleh Guruh Sukarnoputra, menghasilkan satu album dari penyatuan harmonisasi diatonis klasik Eropa dengan pentatonis janger- suara gamelan Bali dalam balutan progressif rock  yang pernah menggetarkan Nusantara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun