Suara jam yang lemah terdengar lagi, tek-tek, tek-tek, semakin membuat tubuh saya lunglai. Namun sebelah tangan saya masih berusaha meraih kotak baterai disisi ranjang danmengambil dua butir baterai ke dalam genggaman.Â
"Saya mesti mengganti baterainya. Jam itu tak boleh berhenti!" tekad saya, sambil berusaha bangkit dari pembaringan. Â Tertatih saya menyeret bangku buat naik dan meraih jam bulat itu, membalik dan meganti baterainya dengan jemari yang bergetar. Hening sesaat, Â jam itu diam tanpa respon.Â
Saya menahan napas menanti asa jam bisa berdetak normal kembali. Tek-tek, tik-tak, tik-tek, tek-tek, tik-tak, tik-tak, tik-tak...akhirnya jam berdetak normal dan saya pun bernapas lega bagai lolos dari lubang jarum. Masih menyisakan rasa was-was saya kembali ke peraduan, menyelesaikan setengah pagi yang belum selesai. Irama ketukan jam dinding yang kembali tegar memudahkan bola mata saya memudar ke alam tidur. Dan saya pun terbenam lelap.
Di pagi kebiasaan, sang cucu datang melayani sarapan, mengibas tirai jendela untuk membiarkan cahaya  fajar menerjang masuk. "Tidur nyenyak Opa?" dia berbasa basi. Aku hanya berdehem antara menyetujui dan tidak.Â
"Jamnya berjalan bagus" sambungnya sambil menatap dinding.
"Ya. Opa mengganti baterainya semalam" kata saya malas. "Ah, bukankah petang kemarin baru ku tukar, Opa?" sergahnya dengan wajah heran.Â
Saya tak merespon, seakan berusaha mengingkari. "Barangkali jam ini terlalu tua dan harus diperbaiki" usulnya.
"Jangan coba coba kau memiliki pikiran demikian anak muda. Jangan sekalipun!" tiba tiba darah saya mendidih ketika dia menyinggung hal itu.Â
"Oh, maaf Opa. Aku tak berniat selain.."
"Selain apa?" potong saya.
"Selain.. jam ini selalu saja melambat meski tak lama sehabis diganti baterai baru.. Opa" katanya sedikit ciut.