Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jam Berhenti

28 Desember 2020   10:40 Diperbarui: 28 Desember 2020   11:05 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh PixxlTeufel dari Pixabay

Saya berpikir langit sudah surut, tampak dari tirai jendela kamar yang masih terkuak. Mentari yang turun masih menyisakan garis cahaya kusam. Sejenak bakal gelap  buat waktunya hari beristirahat. Lingkaran hari jatuh berada di sebelah barat sehabis timur memutarnya. 

Seperti jam dinding memutar jarumnya, yang terus berdetak. Tik-tak, tik-tak. Jam dinding yang sudah bertahun tahun terpancang di tembok kamar saya, yang usianya hampir setua saya. Jam yang setia menemani masa kecil, remaja, dewasa dan ketuaan saya. Jam yang di silam terlihat perkasa dengan detaknya yang teratur, seakan memamerkan dekade-dekade kesombongan mengikuti irama jingkrak-jingkrak masa kemudaan kehidupan. Suara detak yang kencang akan arogansi putaran jarum seperti mengambil alih putaran kehidupan ciptaan Tuhan. 

Saya masih menatap dan mendengar irama detaknya, penampakan jam bundar itu terlihat redup. Tiga tahun belakangan ini, saya tidak lagi membersihkannya. Selain malas, barangkali usia saya yang senja, pula membuat saya mengabaikan kebersihannya. Tidak sebagai biasa di kala vitalitas, kali ini saya melepaskan saja segala debu dan beberapa sarang laba-laba melekati 'casing 'nya. 

Dari pembaringan, saya masih nyaman dengan keberadaan jam itu, seakan dia telah menjadi  seorang sahabat yang setia. Membawa irama kehidupan saya  hari demi hari, terlebih di masa sisa usia ini. Dengan suara detaknya yang mengikat, jarum jamnya yang tebal berwibawa, beserta jarum menitnya yang ramping dan jarum detik yang lebih tipis.

Tiap jam, menit dan detik yang dia pamerkan tiba tiba saja seakan diperluas menjadi dekade yang mencerminkan rentang hidup manusia normal. Sehingga di ujung masa ini, jam itu mengambil alih waktu saya, bahkan detaknya selalu mengikuti detak jantung saya. Tik-tak, tik-tak, tik-tak. 

Terkadang membuat saya takut bila suatu saat jam itu berhenti, suara detaknya lenyap, jarum jam dan menitnya membeku sedang jarum detiknya bergetar tremor. Membayangkannya saja menjadikan saya histeria. Apalagi beberapa hari terakhir ini detak jam itu kerap melemah, tek-tek, tek-tek. Membikin tubuh saya mendadak lemah dan berkeringat. "Jam itu tidak boleh berhenti, tidak boleh lemah" kerap saya mengatakannya baik kepada hati sendiri, maupun kepada cucu saya.

"Kau sudah membeli baterai?"  sering saya berteriak kepadanya. Sementara dia bergegas menghampiri kamar saya sambil bersungut tak jelas. Membuka kotak kaleng di atas meja kecil di sisi saya, dan menunjukkan puluhan baterai baru cadangan yang masih terbungkus kemasan.  

"Kau harus mengganti baterainya" perintah saya. Wajahnya menunjukkan keheranan. 

"Baru kemarin diganti, Opa" terangnya. "Tidak, kau harus menggantinya lagi" kata saya lebih keras. Wajahnya terlihat enggan namun dia mengikuti perintah saya. Menarik bangku dan menurunkannya lalu mengganti baterainya.  Serta merta suara detak yang dikeluarkan terdengar kembali kencang dan normal memenuhi seisi kamar, membikin hati saya tenang seperti balik ke alam segar. 

Tubuh saya menjadi rileks kembali, selaras merasakan ketukannya yang seirama dengan ritme jantung saya. Membawa saya masuk kedalam ketenangan tidur, ke tempat terdalam perjalananan malam. Mengantar  hingga tiba di titik perbatasan pagi, saya terjaga. Napas saya mulai terengah-engah seperti tercekik, berkeringat, diikuti detak jantung yang seperti turut melemah. 

Lewat mata saya yang masih rabun, saya lihat jam dinding menunjukkan jam dua belas, kedua jarum angka jam dan menit berhimpit pada angka 12, sedang jarum halus detiknya berjalan melambat, seakan enggan meninggalkan puncak jam di 12, suatu posisi  'waktu tanpa derajat' dimana jarum panjang dan pendek menyatu.  Dan saya bisa mendengar intensitas detaknya mulai menyurut, menawarkan saya kepanikan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun