Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Milyaran Mil yang Berat

9 Desember 2020   00:16 Diperbarui: 9 Desember 2020   00:18 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh jacqueline macou dari Pixabay

Pria itu berjalan siang dan malam, menelusuri jejak jalan desa Beth. Sebuah jalan silam yang pernah diratakan saat dia pertama datang. Jalan yang pernah bergunung berbukit, telah dikuasakan kepadanya untuk diratakan. Matanya yang sejuk meneliti sekeliling padang rumput yang tak berbatas luasnya, hanya rumput , domba dan penggembala. 

Bumi itu demikian sederhana bila dilihat dari sini, tak seperti kota yang banyak menyimpan. Disini hanya padang dan sesekali desa yang terbuka, sederhana, tidak menyimpan apa apa, hanya mengalirkan air dari atas perbukitan, menyusurkan arusnya di kali yang terus mengalir. 

Seperti keadilan yang mengalir dari atas ke bawah dan diteruskan oleh kebenaran yang terus mengalir dibawahnya. Ketika bayu berhembus di udara yang kering, dia mencium keharuman yang pernah dirasakan. 

Pastilah mendekati desa Beth. Lelaki itu memastikan. Dan dia beristirahat sejenak dibawah perdu rimbun, sembari menatap jauh para gembala yang memeluk ternak-ternaknya bermain di bawah guyuran matahari. "Aku kembali Beth" pria itu melenguh perlahan seakan mengeluarkan hatinya sendiri.  

Dia masih berdiri kaku, wajahnya yang lembut, barangkali kurang begitu cocok dengan kokoh tubuhnya. Bahwa ada raut paras lelaki yang nrimo, yang memastikan bahwa pria ini pastilah seorang lelaki yang penurut. Dan tak mempermasalahkan, ketika dia diperintahkan untuk meratakan jalan menuju Beth, menurunkan setiap gunung dan bukit. 

Ketika itu, dari jarak yang demikian jauh dia datang pada satu hari yang dingin untuk mengerjakannya. Pria jinak ini merendah atas dikte yang seharusnya menjadi manusia hingga ekstrem yang menyakitkan, sedemikian rupa sehingga merendahkan diri sendiri. 

Menempatkan dirinya di kelas yang lebih rendah. "Kau mesti meratakan yang tinggi rendah, sehingga kau harus memulainya dari yang terendah. Itulah kehinaan" Dia mendapatkan 'avidavit' untuk menjadi putera manusia.

Barangkali setengah hari perjalanan dia akan mencapai desa Beth, dan sepertinya dia yakin. Lalu kembali bangkit dari duduknya. Namun beberapa penggembala muda mendekatinya. Menawarkannya air minum dan sekerat roti gandum. 

Lelaki itu mengurungkan sejenak lanjut langkah perjalanannya. "Terima kasih" suaranya merdu terdengar di telinga peternak. Lelaki itu makan perlahan menikmatinya."Tuan pengelana kemana tujuan gerangan?"  serasa sebagai murid hampir serempak mereka bertanya. "Aku akan menuju Beth" jawabnya."Siapa dan dari manakah asal Tuan?". "Aku seorang guru yang datang dari jauh bukan disini" Lelaki itu menjawab sama merdu seperti sebelumnya. Dan wajah para gembala tersanjung, betapa bisa dihitungnya orang asing yang mengunjungi Beth dalam kurun rangkap ratusan tahun. Dan lelaki ini akan hadir disana sebagai orang baru apalagi dia seorang guru, yang pasti bakal menerangi desa Beth, begitu pemikiran sederhana gembala muda. "Aku akan menjadi murid tuan guru..". "Aku dan aku juga" jawab mereka bersama. 

Lelaki teduh itu menatap mereka tersenyum dan mengangguk. Dan ini hanya mengingatkan kembali bahwa setelahnya, lelaki dan murid muridnya akan meratakan jalan menuju desa Beth. Diratakan untuk memungkinkan akses untuk mengakhiri keterasingan ketidaksetaraan.

Sehabis kejadian ini, sang lelaki berpamitan untuk meneruskan perjalanan separuh hari menuju desa Beth. "Kami akan berlari dan menyusul guru.." teriak para orang angon itu. "Ya itu pasti.." jawab lelaki, sambil melangkah menuju timur. "Kenakan kasut dan lampirkan selimut tebal, kerna Beth menjelang malam akan berbagi dingin" gembala senior meneriaki. Lelaki melambai tangan dan mengangguk sambil berjalan memunggungi.

Menyambut malam pria ini mencapai bibir desa Beth, beberapa kerlip cahaya menampak di kejauhan seperti kunang kunang.

 Atmosfir malam yang dingin, bintang yang menerangi membikin awan menjadi bersih, ini sudah dikenalnya sejak silam, bagai rahmat sekaligus pengorbanan. Sementara dia mengayun langkah dia membiarkan cahaya bintang menyentuh kakinya, seakan menetapkan arah tujuan ke sebuah titik yang terlihat jauh lebih terang. Dari beberapa puluh depa lelaki menatap titik besar itu adalah 'ground zero'. 

Beberapa orang terlihat berkumpul menyingkapkan sebuah pondok kayu sederhana namun  ramah dan benderang berdiri memusat mereka. Semakin mendekatlah sang lelaki penurut ini melihat lagi bahwa disinilah dimulaina penetapan awal ditetapkan oleh pusat desa Beth. Menyalami sekelompok orang-orang sederhana yang pernah sangat dikenalnya. Terhitung dua belas orang yang bergantian menyalami dan memeluknya, wajah mereka terlihat sepuh namun sorot matanya sama seteduh lelaki asing ini.

"Betul kan? Kami telah mendahului tuan" Salah satunya menyapa. "Tentu saja" lelaki itu menyahut singkat. "Apakah kita akan memulainya kembali, guru?". Lelaki asing itu hanya terdiam. Dia memandang orang orang itu, merekalah para penggembala muda yang ditemuinya di siang perjalanannya tadi. Terlihat sekarang telah berubah matang dan berumur dengan gurat wajah ketuaan yang bijak. Tidak lagi paras paras  muda yang sedang berguru. Lalu lelaki itu masuk kedalam pondok yang didalamnya dipenuhi jerami berwarna cahaya, diikuti keduabelas orang orang tadi, mereka tampak bersimpuh mengelilinginya.

Sebelum lelaki penurut itu berbicara, mereka sudah mengenal lewat sinar lembut matanya. Dan pemimpin dari orang orang sederhana itu berucap.
"Guru, jalan menuju desa Beth memang telah diratakan, sejak guru dan kami adalah lelaki lelaki muda. Namun ketika kami menyusuri kembali, dia telah menjadi milyaran mil yang terjal.."

Dan sang Guru hanya menatap keduabelas muridnya yang kemudaanya tadi ditemuinya di padang rerumputan yang telah menempuh 'trekking' milyaran tahun yang berat menyusulnya menuju Bethlehem.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun