Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Surat Biru Langit

4 November 2020   09:14 Diperbarui: 4 November 2020   09:17 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh Free-Photos dari Pixabay

Siang masih menyisakan terik. Panas seperti tersendat, mengambang di sekeliling pekarangan. Padahal sejak aku pensiun beberapa tahun silam kerimbunan taman yang pernah terabai, telah ku ubah menjadi semak hijau, namun panas rupanya lebih kuat, menyela segala hijau teduh. 

Lalu lalang kendaraan di depan rumah yang tenang, sedikit meredam kemarau yang sudah sampai di ujung. Aku masih menatap jalan lewat kisi jendela kamar, saat seseorang kurir menghentikan sepeda motornya tepat di sisi pintu pagar.

"Paket, Om!" dia memanjangkan lehernya.

"Sebentar!" aku menyahut penuh tanya. Dia menjulurkan sepucuk amplop berwarna biru langit. Kuterima sebuah amplop polos, tanpa tulisan  alamat maupun pengirim.

"Saya tak mengerti?" amplop itu ku kembalikan.

"Tapi sudah terregister tanggal kemarin dan alamat ini. Bapak Lulagi bukan?"

"Betul"

"Silakan terima"

Lalu kurir melaju gas pol, meninggalkan aku dan sepucuk surat.

Sambil melangkah masuk, ku buka amplop biru yang berisi surat warna biru serupa, bertuliskan huruf bertinta biru pula. Ku ambil duduk di sofa untuk membaca tulisan tangan yang  langka untuk sehelai surat. Tanpa tertulis tempat dan tanggal, surat itu memulai dengan namaku.

Dear Lulagi,
Aku sudah membaca suratmu dan aku tak tau harus menjawab apa. Kala itu kita memang kerap berbincang soal apa saja, tapi bukan mengenai cinta. Kenapa kamu baru mengatakannya di ujung, ketika  kita lama terlibat merasakannya.  Terus terang aku menantinya dan juga yakin kamu pun menunggunya. Sedang aku seorang perempuan tak mungkin mengatakannya pertama,  dan kamu begitu terlambat menyatakannya. Kini, meski ku cinta kamu, tapi tetap saja tak bisa mengubah kehidupan.
Cintamu, Gwesen

Surat singkat Gwesen sempat membuatku terpana, bagaimana mungkin karena sudah begitu silam kami tak pernah bertemu. Gwesen, perempuan cantik teman semasa kuliah. Perempuan yang barangkali satu satunya yang dekat bagi diriku yang seorang  introvert. 

Dan Gwesen benar, bahwa kita tak pernah berkata cinta seperti kebanyakan lagu. Lebih persisnya aku sebagai lelaki tidak pernah kunjung berani menyatakan cinta kepadanya.

Dan masa lalu indah kembali tergambar, barangkali satu satunya memori cinta yang terasakan namun tak terkatakan. Sehingga ketika jalan kampus usai sekaligus pula meninggalkan cinta yang tak selesai. Lalu kami, lelaki Lulagi dan perempuan Gwesen mengambil jalan kehidupan dan jalan cinta masing masing.

Aku masih membolak balik surat biru langit digenggam, dengan kecamuk berusaha mengingat surat cinta yang pernah ku tulis buat Gwesen, namun semua seperti ingatan yang mengabur karena tertelan rasa yang terkubur.

Sekarang waktu memang sudah berlari dan berlalu cepat merambah ketuaan, tapi kenangan tetap tak pernah berubah, tidak menyusut maupun bertumbuh, dia tersimpan. Mendorong kembali kedalam kerinduan, menggapai asmara yang hilang dari Gwesen, perempuan yang pernah mematri cinta yang diam. Dan aku rindu buat menatapnya berhadapan, mengatakan tentang risalah cinta sejatinya lelaki.

Lalu akupun mencari tau dimana gerangan Gwesen berada kini, sekalian untuk mendudukan perkara surat cinta biru yang ku terima.  Cukup lama ku telusuri dari sahabat sahabat kentalnya keberadaan Gwesen terkini, sampai menuntun pencarianku kepada sanak keluarga di kota lahirnya.

Dan kini aku berada dimuka rumah masa kecil Gwesen yang tak pernah ku tau, sebuah rumah kuno sederhana nan resik. Seorang perempuan sepuh perlahan menyeruak dari pintu terbuka sesaat ku mengetuk, wajahnya nampak bening dan ramah menyapa.

"Mencari siapa ki sanak?" lembut suaranya.

"Benarkah ini rumah Gwesen ibu?" tanyaku sopan.

"Betul. Ki sanak siapa?" ibu bertanya dengan air muka yang  terlihat berubah muram dan kosong. Dan aku memperkenalkan diri sebagai teman Gwesen sebelum sang ibu mempersilakan ku masuk. Sementara dada berdegup, berharap Gwesen  berada di rumah ini sesuai dengan informasi terakhir yang ku peroleh bahwa dia memutuskan pulang kampung dan meninggalkan karirnya di kota besar. 

Seraya wanita sepuh itu memperkenalkan bahwa dia adalah ibunya Gwesen, aku mengangguk hormat sambil mengenalkan namaku Lulagi.

"Maaf ibu, apakah Gwesen kembali tinggal disini? ku bertanya sedikit was was.

Sang ibu memandangku, mengambil jeda dan menarik nafas dalam seperti menenangkan, terlihat mata tua beningnya menjadi kaca.

"Gwesen sudah meninggal, nak Lulagi... satu minggu lalu.." suara perempuan di depan ku terdengar lirih membuat lidahku kelu dan seluruh tubuhku lunglai. "Gwesen kerap bercerita tentang lelaki Lulagi di hari hari terakhirnya.." sang ibu melanjutkan, menguatkan dirinya.  

Aku masih sulit berucap, hanya menyodorkan sepucuk surat biru tulisan Gwesen. "Ibu, surat ini saya terima tiga hari lalu.." kataku merajuk bagai kepada ibu sendiri. 

Ibu Gwesen membuka dan membacanya dengan air mata yang mulai membasahi pipi. "Dia menulisnya dari surga..." bisiknya hampir tak terdengar. Lalu kami berdua sunyi.

Tak banyak cerita untuk diteruskan kecuali luka, ketika ku tinggalkan rumah patah hati itu, untuk melanjutkan waktu perjalananku yang tersisa.

Kembali ke kamar kesendirian introvert ku, aku masih melawan kenyataan mortalitas,  mencoba mencari kertas kertas lawas curahan hati yang kerap ku tulis di masa silam. Yang diantara tumpukan lama, ku temui bahwa surat cinta ku kepada Gwesen mash terselip disitu, tak pernah terkirimkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun