"Maaf ibu, apakah Gwesen kembali tinggal disini? ku bertanya sedikit was was.
Sang ibu memandangku, mengambil jeda dan menarik nafas dalam seperti menenangkan, terlihat mata tua beningnya menjadi kaca.
"Gwesen sudah meninggal, nak Lulagi... satu minggu lalu.." suara perempuan di depan ku terdengar lirih membuat lidahku kelu dan seluruh tubuhku lunglai. "Gwesen kerap bercerita tentang lelaki Lulagi di hari hari terakhirnya.." sang ibu melanjutkan, menguatkan dirinya. Â
Aku masih sulit berucap, hanya menyodorkan sepucuk surat biru tulisan Gwesen. "Ibu, surat ini saya terima tiga hari lalu.." kataku merajuk bagai kepada ibu sendiri.Â
Ibu Gwesen membuka dan membacanya dengan air mata yang mulai membasahi pipi. "Dia menulisnya dari surga..." bisiknya hampir tak terdengar. Lalu kami berdua sunyi.
Tak banyak cerita untuk diteruskan kecuali luka, ketika ku tinggalkan rumah patah hati itu, untuk melanjutkan waktu perjalananku yang tersisa.
Kembali ke kamar kesendirian introvert ku, aku masih melawan kenyataan mortalitas, Â mencoba mencari kertas kertas lawas curahan hati yang kerap ku tulis di masa silam. Yang diantara tumpukan lama, ku temui bahwa surat cinta ku kepada Gwesen mash terselip disitu, tak pernah terkirimkan.