Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerita Fabel Pengantar Tidur

20 Agustus 2020   00:05 Diperbarui: 20 Agustus 2020   00:09 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh Jacques GAIMARD dari Pixabay

Saya harus mendengarkan black bird setiap malam, sehingga saya harus menantinya tidak untuk tidur terlebih dahulu. Memang terus terang sudah beberapa minggu ini, burung kurus panjang yang seperti bayangan itu mengarungi langit diatas atap rumah saya. 

Ada tanda seperti saya harus mendengar cuitannya yang melengking, sama sekali tidak merdu dan tanpa lagu. Dan saya menamakannya buat diri saya sendiri dengan sebutan black bird, burung hitam yang tidak pernah terlihat jelas lewat mataku kerna terlarut didalam warna malam. 

Biasanya menjelang jam sebelas malam sang burung tiba dan mencuit beberapa kali, berputar sekali dua lalu lenyap mungkin ke jurusan semula dia berasal. Dari kedatangannyapun saya sudah bisa merasa, meski belum terdengar bunyi cuitnya, namun saya sudah merasakan.

Bunyi itu terlebih dahulu dari dalam telinga saya yang menangkap suara jauh akan kedatangannya. Nah, itu pasti segera tiba, begitu gendang telinga saya terlebih dahulu mendengar cuitannya sebelum manuk hitam itu benar benar mencuit tepat diatas genteng rumah saya

Sengantuk apapun keadaan mata saya, selalu saja saya merasa tidak berhak untuk menidurkannya, sebelum dia datang berkicau lalu berputar untuk kembali ke jalan musnahnya.

Pernah sekali saya curhatkan kepada istri saya bahwa burung yang saban malam melayang diatas kami dan berbunyi melengking itu menjadi sebuah ketergantungan bagi diri saya. 

Namun istri saya menjawab, enggak usah didengerin. Bahkan yang lebih ekstrim dia katakan bahwa itu sebagai firasat adanya kematian. Saya ketawa saja akan tahyul itu, sambil berkata bahwa yang dimaksud itu burung gagak, ini bukan. Dia menjawab lagi sambil berlalu, bahwa dia tidak mengerti soal burung yang bernyanyi setiap malam. Lalu semenjak itu saya enggan membahas soal ini lagi berdua.

Namun anehnya beberapa hari kemudian saya tak lagi mendengar burung malam itu datang mengitari atap rumah seperti biasanya. Dan saya merasa kehilangan, setiap malam menanti suara lengkingannya yang tak kunjung datang, membikin hati saya galau. Bagai ada kehilangan yang mendalam pada akhirnya, membuat hati saya sedih kelara lara. 

Kerap saya menunggu sampai lebih dari jam dua belas malam tak pula tiba si burung hitam kurus itu. Hingga di suatu malam sekitar jam yang sama saya mendengar suara bukan burung kesayangan saya, tetapi kucing kampung atau kucing liar meraung raung, di halaman rumah. 

Memang biasanya ada beberapa kucing geladak berkeliaran di sekitar perumahan kami, dan dari buku yang pernah saya baca, kucing yang meraung itu kucing yang sedang berahi, atau kepingin sekali kawin. Namun kenapa baru kali ini saya mendengarnya dan lagi kenapa begitu pas dengan jam kedatangan burung saya yang tak pernah lagi singgah. 

Ada rasa kesal dan jengkel ketika saya intip lewat gorden jendela kamar, kucing jantan itu terlihat meraung sambil berjalan pelan. Istri saya yang malam itu masih menonton drakor merasa terganggu juga, dan mengambil air seember untuk disiramkan ke kucing apes yang mengganggu hobi beratnya itu. Alhasil kucing itu kuyup sembari ngibrit terseok seok.

Malam selanjutnya, saya yang sudah hopeless dengan kehadiran burung malam kesayangan, kembali mendengar lolongan kucing yang sama. Kali ini tepat didepan jendela kamar kami, namun lolongannya saya rasakan berbeda, terdengar begitu memelas. Dan saya pikir, kucing jantan ini sih bukan kepingin kawin, kerna ada derita dalam suara raungannya yang terbata dan satu satu. 

Lalu saya membuka gugel, dan mengetahui hal lain lagi, yaitu selain berahi, lolongan kucing bisa juga menandakan kesakitan, penderitaan dan putus asa. Dan ketika kembali istri saya siap menenteng ember berisi air, saya mencegahnya untuk tidak reaktif mengguyur si kucing itu. Dan benar, kucing jantan itu terlihat menggeliat geliat seakan menahan sakit hebat sembari melolong. 

Saya coba untuk memberikannya sekerat ikan, sisa gurame saus tiram dari makan malam kami, namun sang kucing tidak merespon, kepalanya malah menggeleng lemah. Ketika saya coba untuk menyentuhnya, dia keburu bangkit dan menjauh dengan kakinya yang gontai pergi entah ke mana. Saya dan istri saya saling berpandangan sebelum masuk ke dalam rumah, seakan sudah mengerti akhir dari sang kucing itu.

Dan benar saja, ketika pagi membuka hari dan saya membuka pintu. Tetangga lelaki seberang rumah yang masih single yang bekerja di salon, terlihat repot bersama seorang sekuriti sedang mengangkat kucing mati. 

Saya mendekat dan berbasa-basi, kalo kucingnya mati ya. Dia menjawab santai, betul pak, si abang metong, maksudnya si kucing itu mati. Kerna setiap kucing jantan yang datang ke rumahnya selalu dipanggilnya abang. Saya manggut manggut saja tanpa menjelaskan bahwa semalam sang kucing memang sekarat dan meraung lemah, di depan jendela saya.

Lepas kejadian ini, malam berikutnya, burung kurus hitam saya, tiba-tiba kembali sowan di atas atap saya, mencuit kembali sambil berputar lalu menghilang. Begitu seterusnya saban malam burung malam itu hadir melengking bercuit, sebagai tanda keadaan telah normal kembali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun