Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Dua Pacar

28 Mei 2020   00:22 Diperbarui: 28 Mei 2020   00:32 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terminal tiga memang terlalu dingin meski rangka atapnya tinggi menjulang, tetap saja udaranya frigid. Menanti barisan checkin membuat tubuhku mesti bersabar didalam beku. Makanya begitu rampung dan memegang nonor kursi, ku segera naik melaju ke lorong-lorong boarding. Yang setahuku suhu disana terasa lebih nyaman, disamping bisa menikmati pemandangan pesawat lepas landas dan orang orang berangkat yang tentu saja lebih menarik mata.

Aku mengulet di kursi empuk ruang boarding, sedikit bosan kerna waktu boarding masih sedikit panjang. Bangkit dari pegal dan menghadap kaca tebal yang menembus landasan lebar, sambil menatap pesawat mengangkat pergi.  Tampak pula pesawat yang telah menyempurnakan landasnya, berjalan perlahan parkir di muka apron, menanti bis listrik komuter penjemput. Tak kulepas pandang, hingga orang berbaris turun pesawat menjejak tangga sorongnya. Dan aku ikut merasakan betapa leganya membumi sehabis rasa tak pasti melayang diawan, tergambar dari wajah wajah kecil mereka di kejauhan.

Dan tiba tiba mataku terasa nanar. "Itukah Inka?" ketika kulihat sosok perempuan menyembul dari pintu tebal pesawat. "Tentu saja dia Inka, pacarku cantik si petualang. Tak pelak, secepat itukah travelnya ke Banggai?" Mau ku menelponnya namun tentu saja off. Jadi ku hanya mengamatinya yang tampak pula teman teman 'trip adventure' nya yang beberapa ku kenal,  berbaris menurun tangga. 

Kuperhatikan langkah langkah mereka hingga ke anak tangga terakhir, sampai langkah kaki ramping Inka menyentuh bumi. Namun  tiba tiba lelaki  dimukanya terlihat sigap meraih tangan mungilnya, menariknya dan mengecup pipinya, Inka terlihat merelakankan saja pipi halusnya di sun. Lalu mereka bergandengan memasuki bis panjang komuter, menghilang dari pandanganku.

"Whats??" tiba tiba gerahamku kaku, pertanda sensor amarah bekerja normal. "Ada apa dengan Inka?" pertanyaan itu terus menggerus kepala, sampai boarding dan pesawat ku lepas landas. Namun ku coba berpikir positif, meyakinkan diri Inka perempuan setia, walau mulai terbersit keraguan. Ku coba menepis ragu, mungkin aku sedang sensi, begitu hiburku.

Selanjutnya, sengaja ku persingkat perjalanan dinasku, ingin segera membereskan perasaanku yang enggak enak terhadap Inka. Sekilat pesawat menyentuh bumi, ku pun tancap gas mencapai rumah kekasihku Inka. Kalbu terasa enggak enak, ketika terlihat satu mobil terparkir di muka rumah Inka. 

Perlahan ku hentikan mobil dan mencoba memeriksa beranda yang tampak sepi, tak ku hiraukan rasa ragu yang merayap, dan berniat mengetuk. Namun kutahan kerna samar terlihat dari balik tirai jendela, kekasihku Inka duduk lekat berdua dengan lelaki itu. Dengan dada serasa penuh ku ketuk pintu, sesaat Inka menyeruakkan paras cantiknya.

"Hans? Secepat itu kamu tiba?" kantung matanya yang indah ikut membelalak  surprise menatapku. Belum sempat ku bereaksi, Inka sudah merangkul dan menyeretku melangkah ke dalam.

"Ini Hans, Bro! Pacar guwe" Inka mengenalkan dan kami berjabat tangan.

"Bon"

"Hans"

Lelaki bernama Bon itu tampak maco, maskulin sopan pula. Dan aku pun hilang pretensi, apalagi tak lama, dia tau diri untuk pamit meninggalkan kami berdua. Sekilas Inka menjelaskan lelaki barusan adalah anggota baru 'trip adventure' yang kemudian perlahan menghilangkan ragu ku akan hadirnya pria kedua. Apalagi Inka tampak kangen dan memeluk aku terus, nempel bak perangko.

Hari pun berganti untuk memutar kehidupan, Inka menjalani petualang dan aku menjalani pekerjaan.  Dan cinta kita bersama. Tapi kejadian memang selalu berulang, seperti terbitnya matahari. Seperti pengulangan yang terjadi didepan mataku, dimana hampir disetiap jadual ngapelku, ternyata kudapati pria bernama Bon itu selalu sudah lebih dulu hadir didalam rumah Inka.

"Tak pula begini caranya, Inka. Kamu harus memilih akhirnya. Aku atau JemsBon itu" satu kali aku serius berbicara. Dan Inka si penjelajah bumi yang cantik tertunduk menggeleng.

"Aku tak bisa Hans. Aku mencintai kalian berdua. Dan namanya bukan JemsBon, tapi Bon" begitu pengakuan Inka sambil terisak. Mempetunjukkan kesedihan, yang adalah cerminan dari kecantikan sesungguhnya. Menjadikanku enggak tega melepaskan cintanya.

Singkat cerita, aku dan Bon sepakat untuk menjadi pacar Inka, dengan jadual ngapel berbeda, yang sudah ditetapkan bersama Inka. Yang kuingat, aku mendapat jadual hari kamis malam jumat sedang si Bon dapat giliran hari sabtu atau malming.

Beberapa waktu pun terlalui tanpa terasa menginjak tahun ketiga kami berpacaran layak lazimnya namun sebenarnya tidaklah lumrah. Meski rasa cintaku masih cukup parah kepada Inka, naluriku mulai bergerak melihat kedepan. 

Mau dibawa kemana hubungan kita? Kerap ku bertanya diri seperti lagu. Dan akhirnya ku mengambil keputusan untuk mundur dari cinta segitiga ini. Meski kulihat Inka begitu terpukul, namun kutetapkan hati untuk menyudahi, dan menyerahkannya kepada Bon.

"Hans, jika kamu pergi, segala akan menjadi tanpa arti. Dan aku juga harus melepaskan Bon. Tanpa cintamu, cinta Bon juga tiada arti" katanya saat pamitku.

"Kamu membutuhkan cinta satu yang utuh, Inka. Dan ku pasti, kamu akan memperolehnya dari si Bon" kataku dewasa. Tampak Inka menggelengkan kepala dan rambut  indahnya.

"Hans, kamu enggak mengerti. Cinta utuhku adalah cinta kalian berdua" Inka menjelaskan dengan mata kaca. Namun aku tak lagi goyah, aku harus enggak boleh ragu dan melangkah pasti. Lalu aku melangkah pergi, masuk ke kegelapan malam walaupun berat nian sejuta kenangan ku bawa pergi. Jauh, jauh.

Sejauh waktu berjalan, melewati delapan tahun kemudian tak terasa. Lalu tanpa sengaja aku bertemu Bon. Ternyata dia tak lagi bersama Inka, sejak aku pergi meninggalkannya. Bon bicara sudah beberapa tahun ini Inka di rawat di sebuah rumah sakit dan memberi alamatnya. 

Akupun segera melesat menuju tekape, sebuah rumah sakit besar nan tenang dan teduh, yang ternyata adalah rumah sakit perawatan jiwa. Ku pun berlari mencari ruang rawat Inka dengan hati masjgul, hingga tiba ditujuan pada sebuah kamar besar putih namun tak terlihat sosok Inka, hanya dua lelaki tua yang terduduk dikursi tunggu dan seorang suster perawat  terlihat selesai beberes.

"Inka?" aku menunjuk ke brankar yang kosong mataku mencari cari sosok Inka.

"Pasien sedang jadual konsultasi, bapak" sang suster menjawab sambil meninggalkan ruang rawat.

Kupandangi kedua lansia yang sedang duduk,  yang sementara itu mereka juga tak henti menatapku bersamaan. Aku mengangguk bersalam hormat.

"Engkau pasti Hans!" serempak mereka bersuara seperti mengenalku.

"Maaf, kedua bapak ini siapa?" ku bertanya.

"Kami ayah Inka," jawab mereka kompak, sementara ku hanya menganga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun