Terminal tiga memang terlalu dingin meski rangka atapnya tinggi menjulang, tetap saja udaranya frigid. Menanti barisan checkin membuat tubuhku mesti bersabar didalam beku. Makanya begitu rampung dan memegang nonor kursi, ku segera naik melaju ke lorong-lorong boarding. Yang setahuku suhu disana terasa lebih nyaman, disamping bisa menikmati pemandangan pesawat lepas landas dan orang orang berangkat yang tentu saja lebih menarik mata.
Aku mengulet di kursi empuk ruang boarding, sedikit bosan kerna waktu boarding masih sedikit panjang. Bangkit dari pegal dan menghadap kaca tebal yang menembus landasan lebar, sambil menatap pesawat mengangkat pergi. Â Tampak pula pesawat yang telah menyempurnakan landasnya, berjalan perlahan parkir di muka apron, menanti bis listrik komuter penjemput. Tak kulepas pandang, hingga orang berbaris turun pesawat menjejak tangga sorongnya. Dan aku ikut merasakan betapa leganya membumi sehabis rasa tak pasti melayang diawan, tergambar dari wajah wajah kecil mereka di kejauhan.
Dan tiba tiba mataku terasa nanar. "Itukah Inka?" ketika kulihat sosok perempuan menyembul dari pintu tebal pesawat. "Tentu saja dia Inka, pacarku cantik si petualang. Tak pelak, secepat itukah travelnya ke Banggai?" Mau ku menelponnya namun tentu saja off. Jadi ku hanya mengamatinya yang tampak pula teman teman 'trip adventure' nya yang beberapa ku kenal, Â berbaris menurun tangga.Â
Kuperhatikan langkah langkah mereka hingga ke anak tangga terakhir, sampai langkah kaki ramping Inka menyentuh bumi. Namun  tiba tiba lelaki  dimukanya terlihat sigap meraih tangan mungilnya, menariknya dan mengecup pipinya, Inka terlihat merelakankan saja pipi halusnya di sun. Lalu mereka bergandengan memasuki bis panjang komuter, menghilang dari pandanganku.
"Whats??" tiba tiba gerahamku kaku, pertanda sensor amarah bekerja normal. "Ada apa dengan Inka?" pertanyaan itu terus menggerus kepala, sampai boarding dan pesawat ku lepas landas. Namun ku coba berpikir positif, meyakinkan diri Inka perempuan setia, walau mulai terbersit keraguan. Ku coba menepis ragu, mungkin aku sedang sensi, begitu hiburku.
Selanjutnya, sengaja ku persingkat perjalanan dinasku, ingin segera membereskan perasaanku yang enggak enak terhadap Inka. Sekilat pesawat menyentuh bumi, ku pun tancap gas mencapai rumah kekasihku Inka. Kalbu terasa enggak enak, ketika terlihat satu mobil terparkir di muka rumah Inka.Â
Perlahan ku hentikan mobil dan mencoba memeriksa beranda yang tampak sepi, tak ku hiraukan rasa ragu yang merayap, dan berniat mengetuk. Namun kutahan kerna samar terlihat dari balik tirai jendela, kekasihku Inka duduk lekat berdua dengan lelaki itu. Dengan dada serasa penuh ku ketuk pintu, sesaat Inka menyeruakkan paras cantiknya.
"Hans? Secepat itu kamu tiba?" kantung matanya yang indah ikut membelalak  surprise menatapku. Belum sempat ku bereaksi, Inka sudah merangkul dan menyeretku melangkah ke dalam.
"Ini Hans, Bro! Pacar guwe" Inka mengenalkan dan kami berjabat tangan.
"Bon"
"Hans"