Nama kamu Hesti dan saya enggak ingat kapan kamu datang, barangkali lebih dari setahun atau kurang. Namun semenjak kamu menjejakkan kaki ke dalam rumah kami, ada rasa lain yang saya rasakan.Â
Mungkin simpati atau rasa pesona yang semula tidak  saya acuhkan diam diam merayap, datang menghampiri secara natural. Seperti panggilan masa silam tentang petualangan yang menyenangkan yang sudah terlipat hilang kedalam folder rutin kehidupan berkeluarga.Â
Apakah saya mulai menyukai kamu? Kadang saya bertanya dalam diri. Mungkin? Ah! Apakah saya mengalami krisis sindrom pubertas lanjut?
Oh iya, Â sejak hadirnya perempuan Hesti, saya sendiri menjadi sungkan untuk meminta opini istri saya soal Hesti. Kerna istri saya sendiri jarang membahasnya, mungkin buatnya biasa aja atau enggak perlu perlu amat, bahkan dia termasuk jarang berkomunkasi dengan Hesti.Â
Istri saya yang manis lebih suka memanfaatkan waktu lebihnya dengan kerja rumah tangganya, dari pagi hingga petang. Setia kepada janji rumah, tangga dan suaminya.
Sedang saya, kadang sedikit salah tingkah sendiri setiap bertemu Hesti, apalagi ketika saya yang kerap mencari curi pandang ke raut wajahnya yang melankolik itu. Sehingga saya bisa tau sebegitu detil pesona seri parasnya.Â
Dari bibir indahnya yang sedikit lebar, tulang pipinya yang menonjol berserasi dengan lancip dagunya, lagi kantung matanya yang indah bagai mata mengantuk yang semakin menjadikan sensasi muara sihir. Dengan rambut hitam yang lurus kemilau, menggerai ketika dia berbicara dengan hatinya yang selalu tampak riang.Â
Dan terus terang jika begini terus menerus, saya membiarkan saja diri saya menjadi kesengsem dengan perempuan berparas cantik soda gembira ini.Â
Selain ada saja pembicaraan yang dia lantunkan tanpa kekurangan ide, kelucuan Hesti yang memikat sungguh membuat saya terkadang tertawa namun tetap serius merindukannya. Â Kejenakaannya yang absurd membuat Hesti salah satu favorit saya, dibandingkan dengan perempuan perempuan lain yang pernah hadir kedalam rumah kami.
Sayang hasrat saya yang begitu membuncah untuk lebih lanjut bercengkerama dengan Hesti, terkadang begitu minim, meski setiap hari Hesti hadir menyambangi ruang rumah kami.
Tetap saja waktu yang paling kerap kami berbincang, hanyalah di waktu malam, apalagi jika istri saya kebetulan sudah lelap dalam mimpinya, kami demikian bebas beraksi.Â