"Marta ini serius. Ini soal Ranjai. Dia sakit..", sementara Marta hanya diam menatap mataku.
"Dia menderita kanker dan dia bersikeras tak hendak terapi, Â aku.. aku mau kau membujuknya untuk berobat.." Wajah Marta terlihat tak berubah, namun aku seperti terhentak surprise mendapati sinar matanya yang tampak dingin.
"Aku memohon kepadamu Marta, demi aku, berbicaralah dengannya, kau ibunya, pasti kau bisa untuk membujuknya ..aku mohon.." lanjutku menghiba. Namun Marta terlihat bergeming, tubuhnya yang mematung dan sinar matanya bertambah tajam mengarah padaku. Lama ku menanti reaksi jawab permohonanku sampai akhirnya dia berucap.
"Dia sudah memilihnya, Hara. Dan kamu sudah tak berhak lagi mengganggu kehormatan kami" Marta berucap bergetar, sama dengan bergetarnya tubuhku yang begitu tiba tiba.
"Apa pula maksud ini, Marta?" tanyaku meninggi.
"Dengarlah Hara! Ranjai telah memilih martabat kami. Sama seperti yang telah di lakukan ayah dan kakeknya" begitu ucap tegas Marta yang kini kudengar seperti mantra.
Dan aku hanya bisa duduk terdiam beku, memikirkan masa silam yang telah kuberikan  dan membahagiakan Ranjai untuk memikul masa depannya, yang kini akan melemparkan ku kembali kedalam masa silamku yang kedua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H