"Kamu harus katakan kamu akan melawannya. Aku mohon demi aku dan anak anak.." aku mulai mengisak.
"Aku ini dokter dan aku amat mengerti. Â Tak pernah ada obatnya. Terapi atau berdiam keduanya sama menuju kematian.."
"Ran, kamu tidak boleh menyerah" aku masih memotong memberinya spirit.
"Hara sayang, biarkan aku memilih berdiam untuk membiarkan kanker ini, hingga tiba pada ujungnya" dia merengkuh tanganku rapat. Lama kami membiarkan senja turun jelas di depan mata kami, dan petang yang terlihat, memakan mentari yang terbenam di balik kaca ruang depan beranda.
"Dan aku mohon satu hal sayang. Kamu tak perlu memberitahu siapapun mengenai hal ini" Ran seperti mengakhiri keputusannya.
"Marta..??"
"Tidak juga ibuku.." Ranjai menggeleng menatapku tajam seperti membaca pikiranku.
Dan lalu inilah menjadi senja yang paling sublim di destini kehidupan perkawinanku di babak yang kedua, begitulah yang rupanya akan ku selami ke depan. Namun masih ada setitik jalan usaha membujuk Ranjai untuk mau menjalankan terapi, yaitu melalui Marta, ibundanya yang sangat mengasihi, meskipun dia melarangnya.
Hingga pagi mulai menjelang dan Ranjai telah beranjak praktek, demikian pula adanya kebetulan jadual pagi Marta mengunjungi rumah kami dan aku berhadapan memandang wajah Ranjai di dalam paras Marta. Sementara Marta dengan gaya khasnya, berfokus pada kerja masakan saji sang putera, terlihat cekatan mengiris bawang bombai.
"Marta.." aku mendekatinya, namun dia tak berpaling.
"Marta berpalinglah.." lalu Marta berpaling.