"Oh!"
"Sejak mengawini kamu, masa silam mu melengkapi masa depanku"
"Kamu agak aneh"
Ranjai suamiku menyeringai, dan itu manis. Selalu demikian. Kami menikah jalan empat tahun. Dan aku janda yang membawa dua anak yang menginjak remaja, sedang dia lajang yang ku pikir terlambat menikah. Â Usia kami tak banyak berbeda, malah Ranjai kelihatan lebih matang.Â
Dia lelaki yang kalem dan terkendali, maklum profesinya adalah seorang dokter spesialis jantung. Aku menikmati Ranjai kerna dia 'smart' dan tersistem namun tidak menggurui. Agak berbeda dengan temperamenku.Â
Aku cenderung melankoli, dan aku sendiri menghayati diriku sendiri dalam skala positif, mengingat pekerjaanku sebagai pengajar sastra yang berurusan dengan imajinasi.Â
So, aku dan Ranjai sejauh ini, merupa lebih kepada sepasang mitra yang terus saling jatuh cinta. Sehingga kami saling menjungjung tinggi akan rasa saling menghargai dan apresiasi. Jadi itulah pokok yang ku putuskan ketika menerima lamaran dokter Ranjai, disamping parasnya yang tampan.Â
Kami sendiri, terlalu sepi untuk bertengkar atau argumen, jika muncul itu hanya merupa diskusi yang baik, andaipun jika memburuk, kedua mata kami akan saling bertemu untuk menyudahi, kerna Ranjai memiliki tatap mata cinta yang lebih teduh. Namun jangan persoalan mengenai martabat profesi, aku tak pernah melawan Ranjai.Â
Dia memiliki harkat demikian tinggi untuk suatu harga diri  dari kecakapan seorang dokter ahli jantung. Barangkali ini adalah juga cermin dari rasa tanggung jawab kerjanya. Dan aku membela untuk berada disisinya dalam hal ini.
Ranjai terkadang eksentrik atau kupikir mungkin dari satu sisi kelainan akan kepandaian otaknya, yaitu soal konsep masa yang kerap melingkupinya.Â
Dia selalu merasa kehilangan masa lalu, mungkin ini yang membuatnya lapuk menikah. Sehingga dia tampak memuja diriku, kerna ikut merasa memiliki masa lalu ku yang berriwayat seorang 'single mom', yang bisa melengkapi masa depannya.Â