Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Membenci Awan

7 Mei 2020   14:23 Diperbarui: 7 Mei 2020   14:23 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masih terlihat langkahnya begitu ringan seperti embun yang belum waktunya turun, busana warna biru yang dipakainya juga seperti melambai melembar  lembar seperti birunya langit. Dia menjauh menjadi semacam warna udara yang melayang di ketinggian. Entah hanya mataku atau hayalku saja aku mengada ada, namun masih sempat Angel seperti lembut bertutur dan ku menangkap merdu suara sayupnya.

"Temui aku di tempat biasa  besok di paling pagi masku.." begitu katanya sebelum menghilang. Dan aku tak berusaha untuk menghambat kelenyapannya, hanya terpana sambil meratap harapan esok.

Begitulah sebelum jago berkokok aku sudah tiba di tempat biasa kami berdiskusi segala hal tentang kehidupan. Sebuah tempat seperti sabana indah dengan lapangan rumput rendah dan berbukit yang menghampar hijau. Tapi hari masih rabun, bahkan mentari pun belum menyembulkan topinya. Dan aku menanti tak sabar didalam kurungan remang fajar.

"Mas ini aku, Angel.." Tiba tiba terdengar suara dibelakang punggungku, suara yang familiar. "Angel..?" aku berpaling menatapnya 'speechless'. Dia begitu tampak anggun,  tubuh ringannya yang berbalut fashion masih warna kesukaannya biru langit di seling putih rona kapas. Mengenakan snikers  'branded' dengan berwarna senada. Seperti Najwa Shihab ku berpikir, namun tak ku lontarkan, kerna takut menyinggung perasaannya. Lalu Angel bersimpuh menyebelahiku. "Kenapa kamu semalam.." aku sontak berucap. "Ssstt.." Angel menempelkan telunjuknya ke bibirku menyuruhku 'silent'. "Kita menanti mentari ya mas.." katanya. Dan aku mengangguk setuju. Kami pun berdua membisu menunggu mentari berangkat menyambut tugasnya, sementara mendekati waktu mentari menyembul, hatiku masygul, enggak enak banget, seperti akan ada sesuatu. Dan benar.

Ketika matahari melongok dari balik cakrawala dengan  garis garis sinar neon raksasanya, Angel membelai kepalaku lalu bangkit berdiri dan berjalan anggun menaiki bukit sabana, perlahan dan semakin meninggi. Aku hanya duduk terdiam, seperti telah mengerti, ketika dikejauhan di melambai ringan dan berteriak merdu.

"Kamu enggak boleh membenci awan, masku. Namanya Karolin bukan? Dan kamoeh, enggak perlu  berkacamata hitam lagi, jelek tauk!" Aku hanya bisa mengangguk.  Sementara  Angel terlihat semakin ringan dan indah di kejauhan, semakin meninggi dan semakin halus, merona biru putih membubung udara hingga mendekat langit bersama awan awan yang lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun