Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Membenci Awan

7 Mei 2020   14:23 Diperbarui: 7 Mei 2020   14:23 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh Pexels dari Pixabay

Semenjak itu aku membenci awan. Yak, ini teramat personal, ketika Kornelia ku pergi ke pangkuan yang kuasa, aku terpukul dan terpuruk. Kornelia cantik adalah kekasih terakhir yang ku cinta setengah mati. Dia seorang pramugari dengan banyak jam terbang, sehingga terkadang waktu darat demikian membuat kami lebih mabuk dari mabuk udara. Kornelia di udara merindu darat dan aku yang didarat menunggu waktu udara, sehingga ketika kami berjumpa di bumi, seperti ledakan cinta bersalut rindu. Kerna apalah cinta tanpa rindu?

Kornelia pergi dalam satu 'aircraft crash' seperti kadang terberitakan di koran, membuatku tak percaya namun fakta. Memunculkan luka dalam yang tak terlihat namun sakit. Itulah derita. Meski takdir atau kematian adalah kepastian dan enggak bisa ditunda, aku masih membawa luka menerima atas ketidak mungkinan yang sudah pasti. Lalu aku  seperti mencari pegangan, ketika kekasih hati tak lagi berujud. Tak ada celah yang harus menjadi kambing hitam sebagai pembenci, kecuali awan.  

Kerna kekasih Kornelia, kerap bertutur tentang awan, disaat rasa rindu memerangkapnya diatas board pesawat yang sedang melayang. Bahkan terkadang aku cembokur kepada awan yang dikisahkan begitu lembut membelai sayap sayap kapal terbangnya, menularkan turbulensi yang menyenangkan. Sehingga aku begitu terobsesi bahwa dia menduakan aku, Kornelia berselingkuh dengan awan. 

Dan itu terus menghantui  sehingga menurunkan kualitas hidupku, makanya aku sekarang berkacamata hitam untuk tidak hendak mengerling awan sekali jua. Kecuali ketika matahari telah meredup dan menenggelamkan awan dalam kehitaman, barulah ku rasa aman untuk berkehidupan dengan lega hati.

Dan kini tak terasa telah setahun berjalan aku hidup tanpa Kornelia, hanya  masih bersanding lekat dengan kenangannya, tapi tidak dengan awan yang masih tetap ku anggap sebagai musuh bebuyutan dan kompetitorku. Namun seiring waktu jua aku menjadi sedikit membuka hati dibanding masa rapat saat kehilangan belahan jiwa.  

Aku mulai berkenalan dengan seorang perempuan bening bernama Angel, walaupun semula aku cuek bebek saja, namun Angel ini begitu transparan dalam hal laku dan wicara. Menyenangkan dan indah apa adanya, tutur katanya pula jauh dari membosankan. Dia tipe seorang wanita yang sederhana namun 'glowing'.  Dimana dia berada di sebelahku, aku jadi melupa bahwa aku sedang hidup diruang 'hermetik' ruang yang kedap udara dan tak tembus sinar bak drakula. 

Angel membawa diriku keluar dari kungkungan pagebluk ini, sehingga tanpa terasa aku menjelma menjadi diriku yang dulu, persis seperti kisah didalam lagu lagu nostalgia. Dan kami semakin rapat, apalagi ku merasa bebanku membenci awan kadang terlupa akan kehadiran Angel. 

Habis dia itu, udah deh, seorang gadis yang begitu ringan, pemecah kebisuan, peluruh kebencian dan masih banyak lagi yang, maaf, tidak bisa aku sebutkan satu persatu selain cantik rupa dan elok hatinya. Dalam kesengsemanku, aku berencana akan mengikrarkan cinta kepadanya, alias nembak bahasa melineialnya atau anti kolonialnya.

"Angel.." aku menyapa saat kami duduk berdua di sebuah taman hiburan malam. "Hmmm..." Dia menjawab kenes. "Aku.." tiba tiba mulutku kelu. "Aku apa sih mas..?" sahut bibir rekahnya. Tanpa komando Angel membelit mesra tanganku merapatkan tubuh langsingnya.

"Aku mencintaimu Angel.." akhirnya ku berucap serius sekali. Menatap raut elok disampingku yang demikian ku harap balasan dengan pede banget, bahwa Angel akan menerima jadian asmara ini. Tapi harapan besar itu tiba tiba rubuh, ketika Angel hanya terdiam menatap kosong jauh kedepan. Tubuhnya pun yang semula nempel pada kulitku, ditariknya bergeser. Dia tidak berusaha untuk menatapku apalagi menjawab proposal lisanku.

"Maafkan bila ku salah, Angel.. tapi betul aku cinta kamoeh.." sambungku perlahan masih usaha. Namun Angel masih bungkam, bibir indahnya sama sekali tak terlihat bergerak, malah dia bangkit berdiri. Menatapku seperti ada duka, matanya basah mengkilat, lalu tubuhnya seperti mengisyaratkan 'godbye' kepadaku. Tanpa suara, Angel berbalik dan meninggalkan ku sendiri di tepi malam. 

Masih terlihat langkahnya begitu ringan seperti embun yang belum waktunya turun, busana warna biru yang dipakainya juga seperti melambai melembar  lembar seperti birunya langit. Dia menjauh menjadi semacam warna udara yang melayang di ketinggian. Entah hanya mataku atau hayalku saja aku mengada ada, namun masih sempat Angel seperti lembut bertutur dan ku menangkap merdu suara sayupnya.

"Temui aku di tempat biasa  besok di paling pagi masku.." begitu katanya sebelum menghilang. Dan aku tak berusaha untuk menghambat kelenyapannya, hanya terpana sambil meratap harapan esok.

Begitulah sebelum jago berkokok aku sudah tiba di tempat biasa kami berdiskusi segala hal tentang kehidupan. Sebuah tempat seperti sabana indah dengan lapangan rumput rendah dan berbukit yang menghampar hijau. Tapi hari masih rabun, bahkan mentari pun belum menyembulkan topinya. Dan aku menanti tak sabar didalam kurungan remang fajar.

"Mas ini aku, Angel.." Tiba tiba terdengar suara dibelakang punggungku, suara yang familiar. "Angel..?" aku berpaling menatapnya 'speechless'. Dia begitu tampak anggun,  tubuh ringannya yang berbalut fashion masih warna kesukaannya biru langit di seling putih rona kapas. Mengenakan snikers  'branded' dengan berwarna senada. Seperti Najwa Shihab ku berpikir, namun tak ku lontarkan, kerna takut menyinggung perasaannya. Lalu Angel bersimpuh menyebelahiku. "Kenapa kamu semalam.." aku sontak berucap. "Ssstt.." Angel menempelkan telunjuknya ke bibirku menyuruhku 'silent'. "Kita menanti mentari ya mas.." katanya. Dan aku mengangguk setuju. Kami pun berdua membisu menunggu mentari berangkat menyambut tugasnya, sementara mendekati waktu mentari menyembul, hatiku masygul, enggak enak banget, seperti akan ada sesuatu. Dan benar.

Ketika matahari melongok dari balik cakrawala dengan  garis garis sinar neon raksasanya, Angel membelai kepalaku lalu bangkit berdiri dan berjalan anggun menaiki bukit sabana, perlahan dan semakin meninggi. Aku hanya duduk terdiam, seperti telah mengerti, ketika dikejauhan di melambai ringan dan berteriak merdu.

"Kamu enggak boleh membenci awan, masku. Namanya Karolin bukan? Dan kamoeh, enggak perlu  berkacamata hitam lagi, jelek tauk!" Aku hanya bisa mengangguk.  Sementara  Angel terlihat semakin ringan dan indah di kejauhan, semakin meninggi dan semakin halus, merona biru putih membubung udara hingga mendekat langit bersama awan awan yang lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun