Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Elysium

24 April 2020   12:56 Diperbarui: 24 April 2020   13:13 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh Comfreak dari Pixabay

Telah empat belas hari saya terbaring disini. Diatas ranjang putih dikepung selang dan peralatan elektrik medik yang tidak saya pahami. Hanya satu selang sedikit besar yang menusuk kerongkongan saya yang terasa mencipta semaput di segala saraf saya. 

Selangnya yang penuh udara mendesakkan oksigen kedalam paru paru saya yang sudah terasa seperti paru metal kaku dan pejal. Jadilah saya mengikuti apa gerak mesin itu yang menghembus lalu membuang lagi seperti mesin bernapas. 

Di kamar saya yang sendiri terbersit kesadaran akan fana, masih ada kejernihan di kepala untuk tidak melongok batas filosofi napas, meski ketabahan jiwa berkali menawarkan fiksi yang enggak jelas. 

Oh iya, kami bersebelahan, maksud saya ada kamar sebelah berbatas dinding lunak mungkin berbahan partikel board, dimana walau samar terkadang saya bisa mendengar suara pasien tetangga sebelah saya ini. 

Barangkali sekaligus saya informasikan saja, mudah mudahan tidak mboseni, jadi teman sebelah ini lebih senior, entah berapa lama sudah menetap di kamar perawatannya. 

Soal level keparahan, saya tidak tahu pasti, hanya terkaan saya dia tidak lebih bagus juga. Meski jelas kami tidak pernah bertatap muka, tapi saya merasakan bahwa dia telah menjadi seorang teman selama saya mondok disini. 

Saya selalu menjadi kepo dengan memasang telinga saya lebar lebar untuk mencari suara apapun yang terdengar dari kamar teman sebelah ini. 

Saya memang, tidak pernah mendengar  pita suaranya, kecuali suara petugas medik atau dokter yang visit. Namun seiring waktu berjalan, saya kerap mendengar suara langkah kaki terlebih di malam hari. Langkah tekanan kaki yang berubah rubah, ada terdengar berat dan terkadang ringan.  

Langkah teman sebelah itu seperti hanya berputar putar atau maju mundur. Suaranya akan semakin lambat dan ringan ketika langkah kaki seperti mendekati daun pintu kamarnya, terus terdengar memberat saat menjauh pintu kamarnya. Kemudian biasanya, ada jeda yang cukup panjang, barangkali sang teman beristirahat duduk atau rebahan di brankarnya, saya duga. 

Kekepoan saya jadi semakin membuncah gaes! Dari kebekuan di ranjang, saya menjadi seperti mencandu, menjadi addict, untuk menerka bahkan mengharap suara suara langkah kawan sebelah ini. 

Langkah langkah yang penuh keraguan, iya atau enggak sih? Seperti itu, sehingga menempatkan jiwa saya bagai menunggu ketidak pastian dan menanggung frasa rasa menggantung.  Ketegangan yang perlahan juga membubung menghantui lebih daripada derita ventilator yang mendesak dada.  

Bagaimana? Kali malam ini, kuping saya yang otomatis sudah melebarkan daunnya,  mendengar lagi langkah teman sebelah ini, begitu lagi, terdeteksi mendekati pintunya, yang membuat jantung saya berdetak kencang. Tak lama tekanan langkah terdengar menjauh lagi, membuat degup jantung saya kembali sedikit rileks.  

Dan saya harus kukuh menahannya  dari hari ke matahari berikutnya. Mana tahan?  Hingga kini turut memperburuk imunitas saya, begitu nasihat dokter, untuk tidak boleh setres, karena menurunkan imunitas banget, sehingga virus bisa jadi merajalela. Tapi apa daya. Langkah langkah teman kamar sebelah itu loh! Meskipun mengganggu namun saya begitu membutuhkannya, bahkan merupa menjadi sebuah ketergantungan.

Sampai hari kedua puluh satu, kata paramedik, kondisi tubuh saya semakin payah.  Saya sendiri pasrah saja, hanya tersisa satu kekuatan, yaitu daya kepo saya bertahan untuk menanti dengar suara langkah langkah sebelah kamar.  

Dalam sayup kesadaran, mungkin yang terkakhir kali, saya kembali mendengar suara langkah teman kamar sebelah ini, seperti biasa langkah kaki mendekati pintu kamarnya. 

Seperti layaknya pula, debar jantung saya pun terekam naik, sungguh saya berharap semoga langkah mendekat itu tidak berbalik, melainkan sudah memutuskan untuk membuka pintu kamarnya.  Apakah saya siap? Tiba tiba saja pertanyaan menyeruak, semenjak lama hal ini tak pernah terpikirkan sedikit pun oleh saya. 

Dan langkah mendekat pintu itu seperti akan membuka pintu pilihan, pembukaan pintu kepada ruang kebahagiaan ataukah ruang malapetaka. Apakah aku diterima atau ditolak masuk kedalam ruang itu? Dan banyak pertanyaan di otak saya yang menguar, membikin saya hampir pingsan. 

Namun masih bisa menunjuk arah kamar sebelah dengan telunjuk saya, memberi kode kepada perawat yang tiba mendekati ranjang saya. Lalu dia menenangkan saya, mungkin maklum kalau saya sudah hampir. 

Mata saya yang terasa sayu dan pandang mulai abu abu, masih melirik ke dinding kamar sebelah yang langkah langkah kakinya masih terdengar tak kunjung berniat membuka pintunya. 

Dengan kekuatan terakhir saya lirih bertanya, ruang apakah disebelah gerangan? Perawat berhati sabar dengan mata kaca membungkuk ke telinga saya, jawabnya. "Elysium".

***
Tiba tiba saya tersedak dan terbangun. Istri saya mengusap jidat saya dan tampak berusaha menarik buku yang saya baca sampai membuat tertidur namun refleks tangan saya menahannya.

"Buku apa sih?" sang istri cantik bertanya separuh kepo.

Saya memperlihatkannya dan dia membaca judulnya dengan muka manis.

"Elysium, ladang orang orang terpilih. Terletak bersebelahan dengan kamar anda"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun