Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Aku Menangisi Belas Kasihan

11 April 2020   09:19 Diperbarui: 11 April 2020   09:19 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh Goran Horvat dari Pixabay

Biasanya aku sudah duduk disini pagi pagi sekali. Bukan apa apa, aku kuatir keduluan oleh anak anak lain. Aku tau, bahwa posisi paling dekat pintu ini adalah strategis dan paling menguntungkan. 

Meski ku mesti bangun pada pagi buta, itu enggak masalah. Konsekuensinya aku mesti cukup lama menanti jam buka toko besar ini, tak mengapalah demi mendapat perolehan yang lebih banyak nantinya.  

Pagi  masih jauh dari merekah, mana hawa dingin sisa hujan semalam seperti masih malas beranjak. Tentu saja aku menggigil, kerna pakaianku sudah terlalu tipis, memudar tanpa warna yang jelas lagi, beberapa bagian sudah tampak sedikit koyak kerna lapuk. Boro boro baju hangat atau jaket, inilah salah satu busanaku dari dua sejenis yang kumiliki.  

Meski jarak tempuh lumayan jauh, melangkah bersama kaki kecilku yang kurus, menyusuri jalan yang lembab, dibawah langit pagi yang mentah, terkadang membuat diriku gembira. "Hei! Inilah bumi yang sedang bersiap menangkap mentari. 

Gelap mengendap ngendap" Sering tanpa ku sadari aku melompat lompat kecil merentang lenganku yang kecil merengkuh udara, seperti mencari dimana batas sinar yang nanti bakal turun ke bumi. 

Kuteramat jarang menjumpainya, kerna ku mesti ber segera tiba sebelum sinar mentari mengirim  kedipnya. Mungkin ini satu satunya yang ku punya, yaitu harapan pagi yang selalu menyertai, seakan dialah sahabat  satu satunya yang mendekatiku apa adanya.

Lumrahnya pintu gerai besar masih rapat tertutup. Hanya seorang penjaga tua yang terduduk mantuk mantuk. Jemarinya masih menyulut rokok sementara raut mukanya rata menatap lantai tertidur.

"Yah! Akulah yang pertama tiba" bibir mungilku menggumam lega.

Dengan berhati hati, kuambil tempat duduk dilantai, tepat di tepi pintu masuk gerai, bersandar pada dinding marmer  yang beku. Ku berselonjor dan mencoba memejam, seakan melunasi lelapku yang kurasa selalu kurang.

Membuka mataku yang terhujam cahaya langit, membuatku penuh terjaga, menatap sebaya senasib ku rupanya sudah rapih bertempat masing masing pada pilihan tempatnya.  Penjual pun sudah menderukan mobil mewahnya dan bergegas masuk berkawal penjaga yang bersigap kerna bos besar hendak berlalu memasuki gerai.  Pintu besar gerai telah mulai terbuka lebar, tampak segala bersibuk ria, dari endorser hingga supplier memenuhi segala kotak gerai makanan aneka rupa dan rona.

Beberapa pedagang grosir makanan sambil mengunyah, menoleh kepada kami dan menyampaikan penganan lontong biasa sarapan kami. Buat mengusir udara yang mengisi perut buncit kami, sehingga terdengar suara krucuk krucuk seperti lagu lucu tentang kemiskinan.

Seiring pagi melenyap, pembeli pun datang berhamburan datang dan pergi menjinjing tas dan kotak besar makanan dan kue harum yang menggugah air liurku.  

Bersamaan kami menengadahkan tangan  kering kami hampir bersamaan, berharap lembar receh dilayangkan kedalam kaleng bekas yang kami genggam. 

Tentu saja aku mendapat terbanyak kerna posisiku berada di paling muka. Receh demi receh atas kemurahan para pelanggan toko mengisi saku bajuku yang tambal sulam.

Wanita wanita berbaju bagus yang datang kerap membuat kesima, sambil menggandeng anaknya yang sebaya diriku, terlihat begitu ceria tanpa derita. 

"Mereka layaknya ditakdirkan menjadi putera puteri surgawi, begitu indah terbungkus dengan barang barang yang mahal," begitu kata hatiku selalu, saat menatap mereka sebaya, yang turun naik super car dengan dandanan branded. 

Sementara ku sendiri terasa begitu menyakitkan di keumuran ku yang mungil ini, hanya bersandar sepi memohon sisa, dibungkus dalam kedinginan yang pekat. Kadang ku mbrebes mili, merasakan kalbu yang kesakitan menatap jurang kebahagian kemiskinanku, ketika saban hari mataku menelan anak anak kaya yang selalu  terbungkus emas. 

Dan kalian tau, mimik wajah anak anak itu seperti tidak mengerti ketika mereka menatapku. Baperku sangat memenuhi hati, merasakan bahwa mereka seperti beranggapan aku ini seperti 'toy' atau mainan, sebagaimana ragam mainan yang memenuhi ruang tidurnya mungkin.

Tak terasa, hari hampir melepas senja, sementara tubuh kecil kurus ku masih bersimpuh di muka pintu gerai. Entah tubuhku terasakan demikian lunglai, tubuhku yang sudah kecil semakin terasa ringan. 

Terlalu ringan kupikir. Namun ada keengganan untuk beringsut dari lantai beranda yang mulai di hembus angin malam menusuk. Orang berbelanja pun sudah mulai langka, tanda toko segera akan ditutup. Tak seperti biasa, aku masih disitu diam tanpa gerak, ku pikir ku tertidur.

***

Pagi hari menjelang seperti biasa, menurunkan mendung dan rintik air langit, kupikir ku masih terduduk disitu sedari semalam lelap tertidur panjang. Namun kurasa posisi duduk ku sudah berpindah, seperti agak menjauh dari pintu gerai, yang telah terisi dengan sebaya papa lain. Malah tempatku sekarang begitu terkucil menjauh. "Ah, mungkin pak satpam memindahkan tidurku semalam agar tubuhku tak terlahap angin malam" kupikir.

Orang orang pun ramai hilir dan mudik meneruskan kebiasaan perdagangan, yang tak lama para pembelanja pun mulai berdatangan.  Wanita indah menuntun anak anak mereka yang berkilauan, masih merupa dalam tatapan kesakitan fisik akan perjuaangan di kehijauan hidupku.

"Kasihan! Mereka anak yang kurang beruntung" beberapa wanita kaya berkata ketika anak kecilnya menatapi kami penuh tanya. Aku, dari sudutku, berusaha menutup rapat kedua telingaku dengan jemari kecilku, berusaha untuk tak hendak mendengar.  Kerna sedari tadi aku sedang dalam terisak dengan kesakitan tubuhku.

"Loh? Perempuan kecil yang biasa paling depan dimana?" seorang ibu muda menanyakan satpam.

"Wah ibu, semalam dia meninggal.." sahut satpam tua.

"Owhf.. maaf. Kasihan sekali hidupnya.." wanita itu nampak beriba.

Sementara dipojokan duduk ku, meskipun telinga rapat kututup, lamat masih ku dengar ucapan ibanya itu. Isak tangisku bertambah bukan saja untuk kesakitan tapi begitu merana kerna harus membawa tangis belas kasihan yang lebih buruk dari rasa sakit, dalam tidur kematianku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun