Seiring pagi melenyap, pembeli pun datang berhamburan datang dan pergi menjinjing tas dan kotak besar makanan dan kue harum yang menggugah air liurku. Â
Bersamaan kami menengadahkan tangan  kering kami hampir bersamaan, berharap lembar receh dilayangkan kedalam kaleng bekas yang kami genggam.Â
Tentu saja aku mendapat terbanyak kerna posisiku berada di paling muka. Receh demi receh atas kemurahan para pelanggan toko mengisi saku bajuku yang tambal sulam.
Wanita wanita berbaju bagus yang datang kerap membuat kesima, sambil menggandeng anaknya yang sebaya diriku, terlihat begitu ceria tanpa derita.Â
"Mereka layaknya ditakdirkan menjadi putera puteri surgawi, begitu indah terbungkus dengan barang barang yang mahal," begitu kata hatiku selalu, saat menatap mereka sebaya, yang turun naik super car dengan dandanan branded.Â
Sementara ku sendiri terasa begitu menyakitkan di keumuran ku yang mungil ini, hanya bersandar sepi memohon sisa, dibungkus dalam kedinginan yang pekat. Kadang ku mbrebes mili, merasakan kalbu yang kesakitan menatap jurang kebahagian kemiskinanku, ketika saban hari mataku menelan anak anak kaya yang selalu  terbungkus emas.Â
Dan kalian tau, mimik wajah anak anak itu seperti tidak mengerti ketika mereka menatapku. Baperku sangat memenuhi hati, merasakan bahwa mereka seperti beranggapan aku ini seperti 'toy' atau mainan, sebagaimana ragam mainan yang memenuhi ruang tidurnya mungkin.
Tak terasa, hari hampir melepas senja, sementara tubuh kecil kurus ku masih bersimpuh di muka pintu gerai. Entah tubuhku terasakan demikian lunglai, tubuhku yang sudah kecil semakin terasa ringan.Â
Terlalu ringan kupikir. Namun ada keengganan untuk beringsut dari lantai beranda yang mulai di hembus angin malam menusuk. Orang berbelanja pun sudah mulai langka, tanda toko segera akan ditutup. Tak seperti biasa, aku masih disitu diam tanpa gerak, ku pikir ku tertidur.
***
Pagi hari menjelang seperti biasa, menurunkan mendung dan rintik air langit, kupikir ku masih terduduk disitu sedari semalam lelap tertidur panjang. Namun kurasa posisi duduk ku sudah berpindah, seperti agak menjauh dari pintu gerai, yang telah terisi dengan sebaya papa lain. Malah tempatku sekarang begitu terkucil menjauh. "Ah, mungkin pak satpam memindahkan tidurku semalam agar tubuhku tak terlahap angin malam" kupikir.