Seluruh jalan menjelma sepi, tak satupun melintas. Bahkan angin yang sesekali menerpa, begitu bebas kian kemari. Kota seperti mati. Tak terdengar suara suara mekanis yang biasa mengharu biru degup metro kota.Â
Tak ada aerosol polutan mengambang di atas aspal jalanan, bak prisma yang membias sinar violet terbelah tujuh.  Sehingga kali ini, sinar surya pagi menjadi jernih, leluasa menembus  hingga segala sudut terkucil. Â
Semua pintu terkunci. Katanya 'lock down'. Tak sesosok pun berani menampilkan wujudnya di tengah jalanan kota. Â Hanya tampilan sepi yang senyap.
Namun di kejauhan jarak, sedikit tersamar kilau garis mentari, Â seorang lelaki berjalan tenang perlahan. Menampakkan nuansa kelabu dari kejauhan, mungkin dari fashionnya yang terlihat melonggar, berjuntai lembut nampak seperti jubah.Â
Sesekali dia menatap puncak puncak pencakar langit, lambang kota kota metro. Sinar matanya yang teduh, tiada kekawatiran, seperti menyimpan kisah yang paling kelam.
Dan aku, yang waktu itu serupa pula telah menjadi penyendiri. Masih terduduk beku di deretan depan didalam salah satu truk dari puluhan truk isolasi pengangkut korban wafat. Pandang mataku yang sedari tadi lurus menatap sosok itu, serta merta mebelalak ketika laju truk kami kian mendekat.
"Tak semestinya lelaki itu berada dijalan.." serta merta ku melapor pak supir dan guard disampingnya. Namun mereka diam saja, seperti tak mendengar ucapku, bahkan seperti tak melihat, menyongsong  papasan  sosok lelaki yang sedang menyusuri sisi jalan itu.
"Hei! Tidakkah kalian lihat?" setengah berteriak, kembali ku ingatkan keduanya. Tapi sang supir hanya beku, seperti robot malah menambah laju truk pengangkut jasad, beriringan memangkas jarak truk di depannya. Â
Semakin mendekat ke sosok lelaki itu, hatiku semakin berdegup. Mengingat tak lah seorang pun di ijinkan ataupun  bernyali untuk keluar bahkan mengarungi jalan jalan kota, ketika wabah virus masif menggila melapis bumi. Â
Namun barisan truk duka ini juga semakin menggila, ngebut kerna telah menjelang tujuan, sehingga saat kendaraan besarku melintas di sisinya, mulutku hanya bisa rapat terkunci.Â
Sekelebat bisa kutatap wajah lelaki jalan, yang juga tak lepas memandang barisan kotak beroda kami. Wajah seorang lelaki tampan meski sekilas, bersinar mata lembut meski sekerjap, dan setelah terlewat oleh kami, aku masih bisa mengenang jelas parasnya.Â
Sejatinya aku telah mengenalnya silam, dan otakku bahkan seperti telah mememori, sumpah, telah mengenalnya beratus atau bahkan beribu tahun di belakang, yang sulit dijelaskan. Namun tergores demikian dalam dan jelas.Â
Rasa ingin meloncat keluar dari ketinggian truk yang ku tumpangi, guna mengejar lelaki yang telah terlewat di belakang. Beruntunglah parade truk segera berhenti kerna tiba di tanah tertuju, berderet menanti 'unloading'.Â
"Inilah kesempatanku!" aku menggumam, sambil berpegangan chasis menuruni truk raksasa ini. Menjejak tanah, kutoleh kearah belakang, lelaki itu masih lengang berjalan di kejauhan dan tanpa komando pasukan, ku berlari menyongsong punggungnya.
"Tuan! Bersegeralah masuk ke rumah, kali ini sangat berbahaya sendiri bagi anda!" Â sedepa jarak dari belakangnya aku memperingatkan. Lelaki itu berhenti dan menoleh.Â
Parasnya yang rupawan menatapku lurus tajam, membuatku seperti mengarungi hipnotis. Sementara tubuhnya sepenuhnya berpaling di depanku, meninggalkan gerakan tubuhnya yang demikian seksama, menyiratkan perbawa yang hikmat.Â
Dia bukan lelaki sembarang, hati dalamku berkata, membuat tubuhku terdiam kelu. Lalu di melangkah mendekat. "Tuan! Kita tak boleh kurang dari satu meter.." ku mensergah gerak majunya. Dan dia menurut, berhenti berjarak dari ku. Parasnya bersenyum, lalu memandang langit dan bumi. Perlahan dia berkata.
"Aku pernah datang dibawah pagi bumi ini. Merasakan kesakitan dalam waktu singkat, satu derita hina paling mengerikan yang paling sabar..." Sebelum habis ucap lelaki memikat itu, aku segera menyadarinya.Â
Ku pun berlutut lalu bangkit lari berbalik, kembali menjemput truk pengangkut raga korban wabah. Kupercepat  lari kedua kaki ku. Khawatir, mereka, para petugas, keburu mengangkat salah satu peti tempat ku berbaring. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H