Sejatinya aku telah mengenalnya silam, dan otakku bahkan seperti telah mememori, sumpah, telah mengenalnya beratus atau bahkan beribu tahun di belakang, yang sulit dijelaskan. Namun tergores demikian dalam dan jelas.Â
Rasa ingin meloncat keluar dari ketinggian truk yang ku tumpangi, guna mengejar lelaki yang telah terlewat di belakang. Beruntunglah parade truk segera berhenti kerna tiba di tanah tertuju, berderet menanti 'unloading'.Â
"Inilah kesempatanku!" aku menggumam, sambil berpegangan chasis menuruni truk raksasa ini. Menjejak tanah, kutoleh kearah belakang, lelaki itu masih lengang berjalan di kejauhan dan tanpa komando pasukan, ku berlari menyongsong punggungnya.
"Tuan! Bersegeralah masuk ke rumah, kali ini sangat berbahaya sendiri bagi anda!" Â sedepa jarak dari belakangnya aku memperingatkan. Lelaki itu berhenti dan menoleh.Â
Parasnya yang rupawan menatapku lurus tajam, membuatku seperti mengarungi hipnotis. Sementara tubuhnya sepenuhnya berpaling di depanku, meninggalkan gerakan tubuhnya yang demikian seksama, menyiratkan perbawa yang hikmat.Â
Dia bukan lelaki sembarang, hati dalamku berkata, membuat tubuhku terdiam kelu. Lalu di melangkah mendekat. "Tuan! Kita tak boleh kurang dari satu meter.." ku mensergah gerak majunya. Dan dia menurut, berhenti berjarak dari ku. Parasnya bersenyum, lalu memandang langit dan bumi. Perlahan dia berkata.
"Aku pernah datang dibawah pagi bumi ini. Merasakan kesakitan dalam waktu singkat, satu derita hina paling mengerikan yang paling sabar..." Sebelum habis ucap lelaki memikat itu, aku segera menyadarinya.Â
Ku pun berlutut lalu bangkit lari berbalik, kembali menjemput truk pengangkut raga korban wabah. Kupercepat  lari kedua kaki ku. Khawatir, mereka, para petugas, keburu mengangkat salah satu peti tempat ku berbaring. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H