Hari selanjutnya adalah hari rutin yang sejak sore dimusim sama, gerimis datang dan surut bergantian seperti janjian. Kali ini lumayan hari. Omset seduh bisnis kopi bicycle menemukan hari baik, terbantu oleh udara pancaroba.Â
Tak terasa malam pun menjemput turun. "Dua belas kurang" ku berdesah mengintip celah arloji lawas. Waktunya melepas hari, Â untuk kembali menggelinding pulang menyusur aspal lembab terlapis uap air. Lepas tikungan akhir kembali pandangku berulang lagi. Sosok perempuan tegak di bawah pendar lampu merkuri di posisi serupa kemarin. Jantungku berdegup melambankan kayuh, ketika dia, seirama semalam, melambaikan lengan, membikinku berhenti.
"Kopi, bang.." bibirnya membuka kata mirip kemarin. "Manis, ya bang.." lanjutnya serupa.
"Baik Non.." kusigap meracik sembari mencuri kerling parasnya. "Ah, lain dengan perempuan semalam?" ku membatin. "Ini non.."kusampaikan seplastik kopi mengepul. Dia menyambut dan menghirup aroma lalu mereguknya serasa nikmat.Â
"Ini bang, ambil aja kembalinya.." setara kemarin perempuan itu membayar lima puluh.Â
"Wadidaw non.. banyak bener," spontan ku tersipu, sementara kepoku terbit. "Maaf sendirian ini non..?" kulanjut bertanya.Â
"Ah, enggak. Aku menanti lelakiku.." begitu dingin sahutnya. Membikinku bergegas permisi dan melaluinya, kerna kumerasa  berada di waktu dan ruang yang sama seperti kemarin malam. Kukayuh banter sepeda kopi yang sekejap ku toleh kebelakang lagi kulihat siluet perempuan malam yang serupa kemarin. Jam pun persis di dua belas, saat kuputuskan tancap genjot, tarik mang!
Hari berikut adalah sesuai dengan waktu kehidupan, sehabis kumplit segala asesoris perkopian di bicycle berjuntai. Aku memulai hari kembali. Mengayuh ke pasar kota biasa mangkal. Hari mendung belum juga berdamai cerah, menyembunyikan mentari di keseluruhan hari.Â
Tanpa rasa waktu telah menuju kembali ke malam gerimis kepulangan, ke kediaman kontrak petak. Ada keengganan melaju balik, namun kuusik saja, untuk tetap meluncur di aspal sepi. Dan benar saja sehabis tikungan, perempuan itu berpijak lagi dititik sama. Â Kopi yang sama, suara yang sama, gesture pula serupa. Namun dengan wajah yang kembali berbeda dengan kemarin kemarinnya. Â
Semenjak kejadian identik itu, malam tidurku mulai sering terjaga. Bayangan wajah wajah perempuan yang berganti ganti seperti mencipta teka teki di kepalaku.Â
Keresahan menggapai puncak  ubun-ubunku, ketika rekam inderaku menyatukan bahwa suara dan gesture perempuan perempuan itu adalah sama serupa, meki berbeda beda wajah. Layaknya suatu cetakan silamku, menyiratkan samar bahwa suara dan lagak laku perempuan itu pernah kukenal dekat, bahkan lekat dengan kelam terkait wangi kopi usang di jauh negri antah berantah, yang berhak kulupakan.