Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Jokowi The Second

21 Oktober 2019   22:35 Diperbarui: 21 Oktober 2019   23:01 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

A new hope adalah tulisan penegas dari kover majalah Time edisi 27 Oktober 2014, bersampul wajah presiden terpilih Joko Widodo. Harapan baru bagi Indonesia.  Seorang pengusaha  mebel yang lempeng yang selalu membuat orang orang  khawatir dengan jurus blusukan.

Ngomong ngomong soal harapan, betulkah ada harapan baru? A new hope? Apa itu harapan?  "Hope" is the thing with feathers, tulis puisi Emily Dickinson. Dia tinggal didalam jiwa, dan bernyanyi tiada henti tanpa kata. Suaranya selalu ada, kencang ketika cerah dan lirih dikala badai.

Lalu apakah harapan sekarang masih kuat seperti lima tahun lalu? Atau semakin lirih? Atau lirih tetapi kembali menguat? Atau malah lebih lirih lagi?

Banyak ukuran harapan dari sepak terjang seorang Jokowi apalagi di ujung usia pemerintahan yang banyak di publis dan dianalisis.  Yang dari keseluruhan level kepuasan di keseluruhan rentang masa pemerintahannya di sekor 58,8%. Kenapa tidak seratus persen? Entahlah, apakah harapan bisa diukur? Tapi biar saja harapan mengukur dirinya sendiri seiring keadaan.

Seorang Jokowi yang dikenal sejak penguasa kota Solo lalu melompat  ke nomer satu DKI Jakarta. Dia bak tukang sulap, merubah kota dan ibulota dengan cepat seperti membalik tangan. Seorang yang memiliki Midas Touch. Berduet dengan Ahok mendobrak dan menjahit Jakarta, seperti Batman dan Robin.

The Dark Knight, pangeran yang blusukan kedalam kelam untuk membasmi kegelapan.  Atau seperti Bandung Bondowoso membangun Prambanan sebelum jago kukuruyuk. Jokowi hampir jadi legenda Solo dan ibukota, seperti Ali Sadikin, jika saja tidak terjun ke politik kekuasaan tertinggi pemerintahan.  Dan ternyata inilah lakon sesungguhnya. Welcome to the jungle, DKI ternyata bukan Indonesia kecil.

Sepersekian detik sehabis dilantik 2014, serta merta stigma telah tersemat. Jokowi yang sebagian  hatinya hardrocker mulai masuk kealam grunge seperti Kurt Cobain, yang seumur hidupnya berperang melawan ilusi.

Kesuksesan superiority di daerah ternyata tidak bisa di berlakukan seseorang yang menjabat presiden. Yang adalah omong kosong bahwa kurikulum sebagai gubernur berarti applied untuk menjadi seorang presiden. Tidak semudah itu Ferguso!

People power kontra party power yang seharusnya kongruen, ternyata anomaly  dan  begitu menyita energy kekuasaan, sehingga superhero di daerah bisa berubah seratus delapan puluh derajat, menjadi pahlawan kesiangan di skala kekuasaan nasional nomer satu.

Jokowi tidak bisa langsung menggebuk ke sasaran kerna begitu banyak mata rantai yang membelenggu terlebih koalisi dan superpower petinggi partai. Kegaduhan kegaduhan yang menekan ekonomi dan disintegrasi yang terus saja menghantui stabilitas politik, tidak bisa dihadapi  secara  clean kesatuan pandang politik NKRI.

Orang orang hebat yang mengisi cabinet mentri, hanya menjadi negri dongeng ketika record capaiannya meroket tapi tidak terasakan implikasinya ke rakyat bawah. Mungkin terlalu banyak makan waktu sinkronisasi dibanding kerja sehingga kurang efisien, dan tidak terasakan perbedaan kehidupan dengan lima tahun kebelakang, alias berjalan ditempat.

Banyak hal yang tetinggal atau sengaja ditinggal, dari menguak persoalan HAM dan korupsi  segede gaban, untuk menukarnya dengan gain pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, pendidikan dan pengangguran. Kayaknya hanya BPJS yang menjadi malaikat penolong pengobatan yang dulu hanya hayalan, meskipun terus tekor. Mestinya tak dibutuhkan argument apapun dan  pemerintah tetap  berdaya menanggungnya, karena inilah kemuliaan Negara.  

Perihal pelemahan KPK yang disodok dengan revisi UUKPK. Mungkin lebih fair juga melihat apakah KPK sudah bisa memperkuat dirinya sendiri?  Penangkapan yang menerus sudah seperti filem serial. Tangkap berhenti, lalu tangkap baru.

Harusnya KPK bisa mencapai root cause corruption, engga cuma menangkap tapi juga berani menelusuri jaringan korup dan menyeret top source nya.  Berkutat di penangkapan yang kemudian terkesan pheripheral lalu merenungi save KPK, adalah engga lebih baik dari membuat sendiri KPK yang berani  menusuk  lebih kedalam untuk mencapai level root cause corruption.

Kemudian masuklah periode kedua Jokowi, melalui pemilu yang menghabiskan nafas kerna ternyata competitor lebih setrong sekaligus internal ternyata tidak sefanatik dahulu. Pelantikan presiden yang dingin jauh dari a new hope di separuh dekade lalu, seperti mengisyaratkan pengulangan masa lalu saja.

Dibuka dengan panggung, performa pemilihan mentri yang teatrikal mengingatkan adegan awal  dalam  filem The Godfather sekuel 1,ketika Don Vito Corleone menerima per pribadi  dikamarnya dengan taman luas disekitar istananya.

Indonesia maju dengan titik berat pembangunan SDM, hanyalah missing link. Barangkali lebih bijak untuk membenahi segala kekurangan di sekuel pertama ketimbang memaksa melompat membangun SDM yang mudah terlupa kerna kegiatan ekonomi, omnibus law, pangkas birokrasi dll. Persis seperti program mulia  Sembilan Cita yang lalu yang tertimbun di kesibukan country usual business.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun