Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tetangga Udara

19 Oktober 2019   09:44 Diperbarui: 19 Oktober 2019   09:50 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku hanya merasakan , tanpa visual, tak layaknya deretan rumah tempat tinggal. Barangkali hanya aku doang yang menyerap auranya, kerna  warga baru kukenal ini begitu halus dan ringan.  

Para tetangga sama sekali tidak hirau, ya iya dong, hidup bertetangga mestilah kongkrit, sederhananya ada interaksi fisik bukan fiksi. Iya, ketawalah mereka. 

Deret rumah kan terukur dan bernomor, bernama  untuk hubungan saling kenal minimal sapa. Ada rt dan ada rw, sehingga terciptalah komunitas tetanggaan.

Aku udah bilang ke tetangga lain, bahwa warga baru yang ku maksud ini, tidak punya rumah. Lah? Berarti engga bisa tetanggaan dong! Nggak dikenal, engga punya griya, terus mane bisa tetanggaan? Ngimpi?  Begitu bullying para tetanggaku.

"Dia memang engga privilege buat bertetangga, my friend" terangku. "Bodo amat!" sambung  para tetangga. Lalu aku sedikit putus harapan menjelaskan, kerna memang aku sendiri kurang begitu kompeten, hanya sekedar tahu mengenai sosok warga baru ini. 

Yang ku tahu kawanku ini, jangankan tempat tinggal, pintu dan jendelapun nihil. So, setelah tak mampu ku yakinkan kepada tetangga, kupikir panjang lagi taklah masalah. Advantagenya toh ada, yaitu engga perlu ada tenggang rasa dengan tetangga. Oh bahagianya! Kata kawanku satu ini. Aku sih yes! 

Artinya akur saja buat kawan baruku ini, niscaya kebertetanggaan dengan dia, aku ya rapopo. Meskipun dia tak memaksakan untuk melobi deretan tetangga lain, dengan senjata argumen ampuh. Bahwa sebenarnya temanku ini  merupakan warga silam, bahkan sebelum ada komplek perumahan ini, dia sudah bermukim disini. 

Namun tetap saja, para pemukim sok itu, mencibir sebagian katawa ketiwi, sambil menggaris jidatnya dengan telunjuk dimiringkan. Hatiku yang larasati menjadi laraati, deh. Sambil hanya bisa ngadem ngademin kawanku yang tersakiti itu. 

Tapi dia malah cuek, menari nari menyapukan lengannya kesana kemari. Sedang aku permisi saja untuk pulang. Barangkali enakkan bobok siang daripada ngurus yang memusingkan ini, bagiku.

"Mau kemana?" sapanya lemah lembut. "Bobok!" ketusku. Kawan itu tertawa sambil kembali memutar mutarkan tubuh sehingga kelihatan demikian enteng tanpa bobot. "Edan!" aku merutuk pelan sekali, takut tersinggung dianya.

"Mainlah kerumahku" dia merayu. "Whats?" aku mengangkat bahu dan lengan. "Tanpa tempat tinggal, tanpa tenggang rasa dengan tetangga, namun hati hepi? Cemana cak?"

"Ayuk!" dia memaksa, sambil mengalungkan lengan panjangnya keleherku, yang tidak membuatku sesek tercekik, namun malah aku rasakan plong di tembolok jalan nafasku. Dan tiba tiba aku merasa rinduh, entah , pokoknya kangen, kayak mendengar tembang ari laso, kangen, lalu terhanyut kedalam masa pancaroba keindahan sebelum kelahiran internet.

Belum lagi senyumnya yang tanpa beban, semakin membuatku mengikutinya bak kerbau dicucuk hidung.

Lalu kami berjalan ke jurusan timur, tidak jauh ternyata, tapi tak sama sekali kulihat rumahnya. Namun dia meyakinkan telah tiba di griyanya, katanya kita akan memasuki lewat pintu depannya. Meski bola mataku tak menangkap apa apa, namun aku masuk ke feeling (seperti mendengar suara lawas Morris Albert). 

Tubuhku terasakan ringan, demikian sang kawan ini, tetap mendampingiku sebagai tuan rumah yang kompeten mengajak menyusuri ruang ruangnya. Semakin kedalaman ruangnya aku jadi kayak tamu asing yang sedih, seperti gelandangan yang kehilangan alas tidurnya. Hingga tiba disatu ruang, yang lebih lambat dari cahaya guna menyapa keinsafan. 

Agak tempo kami hanya berdiam saja, sampai dia rasakan aku bisa menyesuaikan segala, sebelum dia meninggalkanku. Dan aku mulai nyaman saat dia mulai melangkah meletakkan ku sendiri, sedang aku engga keberatan kerna aku sudah menyesuaikan. Meski aku mengerti siapa dia sebenarnya, aku masih basa basi menanyakan jati dirinya. "Sebenernya kamu itu siapah?" kutanya dia malah mesem.

"Aku Udara" jawabnya.

Sementara kabarnya, dirumah yang kutinggalkan, sudah terlihat ramai para tetangga berdatangan dan bersliweran. Sampe berinisiatip, inilah perlunya hidup bertetangga, mereka mendirikan saung temporer dijalan depan pekaranganku untuk menampung warga. Bersalaman dan keluar masuk pintu rumahku dengan paras duka.

 Namun aku tidak menemukan diriku disana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun