Mala memenamkan kepala indahnya ke sebalik bahuku. Aku senang, sebab kalo sudah begini, dia akan menjelma menjadi mahluk yang sangat ingin tahu. Kepo! Aku jadi enggak tahan buat menggodanya, dengan membuka kembali kisah kisah yang masih hangat, apalagi cerita cerita lawas yang pernah kami rasakan begitu manis.
Jika menembus, mau engga mau, potongan silam yang memaksa hati kelu, aku pun terhanyut lara. Sebelnya Mala ternyata tak terlarut melow, dia biasa saja. Datar. Tapi aku telah mahfum akan sifatnya, Â dia memang mahluk cantik yang selalu saja penasaran, namun terkendali, tidak berlebihan.
Seperti apa ya? Yak, betul! Kupikir dia seperti sebuah buku harian yang selalu ada disisiku. Sebuah kitab yang siap kapan saja ku buka, sebagaimana suasana hati.
Sebenarnya sudah memakan bertahun kami saling berkasihan meski kadang hadir pertengkaran diantaranya, namun itulah waktu. Kami telah merasakan berlalunya waktu dan telah sampai pada tingkat merenungkan masa lalu yang telah kami kirim kebelakang.
Namun ya itu tadi, berpuluh sudah tanpa malu aku mengajukan proposal kepada si cantik Mala, untuk menjadi mempelaiku dan hidup happily ever after, ternyata nihil hasil. Terkadang membuatku pupus meski tak hingga melukai hati, kerna kutau Mala akan baik baik saja, tapi terkadang tidak buatku. Ah, Mala.
Hingga sampai di suatu sore yang terbakar merah, aku menggamitnya lekat, memasuki kafe sejuk tempat kami biasa bercengkerama dan membaca hati. Akupun membuka rasa.
"Aku akan melepaskan kamu, Mala" aku menatap wajah ayu yang terlihat vintage. Dia juga menatap mataku, mata indah yang selalu menggoda rasa ingin tahu dan penuh selidik. Mala hanya membisu.
"Aku harus menikah, sayang. Ibu semakin sepuh dan menjodohkan pilihannya...Aku tak bisa lagi menunggumu" mulutku terbata jujur.
"Aku telah memperkirakannya, Mas. It's okay" Mala berkata lembut tak terduga, bibir tipisnya tersenyum lamat sembari tangannya mengelus tanganku perlahan.
"Maafkan aku Mala" aku menutup kisah pilu di meja kafe sejuk. Menatap wajah Mala yang sahaja mempesona. Tak terlukis raut luka, barangkali ada kecewa tersisa di wajahnya.
Namun ku mesti meneguhkan hati engga bisa begini melulu, menanti penungguan panjang, tanpa kata berujung. Seperti membaca kisah buku yang berjilid tanpa tamat. Dan dia begitu mature, menangkap sebuah pengertian tentang hidup yang engga cuma sepotong, tapi menyeluruh utuh, akan suatu kehidupan pejalan kematian.
"Jangan lupa mengingatku di satu kelak, Mas.." begitu pesan kata akhirnya.
"I will.." kataku menyakinkannya, untuk kemudian kami pun berurai.
***
Beberapa tahun pun berlalu. Meskipun berjalan, tetap saja waktu itu mengejutkan, dia berlalu begitu cepat seperti terus mendahului, yang kerap menimbulkan kekaguman sekaligus keheranan. Seperti terasa baru kemarin terjadi, namun begitu gahar perubahan tercipta yang memukau mata kita. Seolah olah berlalunya waktu adalah suatu konsep asing bagi manusia, bahwa berlalunya waktu tidak pernah berhenti mempesona.
Seperti di libur hari ini, yang kuhabiskan waktu sendiri di rumah, ketika istriku sedang berkunjung ke kampung orang tuanya. Setelah tetek bengek ku oprek, diriku pun berleha menikmati kesendirianku, yang tanpa sadar menggiringku ke kesunyian tidur tidur ayam. Dikejutkan oleh ketukan pintu muka ruang tamu. Dok, dok, dok! Malas langkah dan tanganku menggapai pintu terbuka, yang malah mengagetkan dan menajamkan buram mataku akan sosok perempuan dihadapanku.
"Mala?" aku terkesiap merengkuh mulutku. "Mas..." Dia tersenyum tak berubah layaknya ayu yang silam.
"Masuklah Mala.." gugup kupersilakan perempuan itu melangkah kedalam. Kami pun mengambil duduk bersebrangan, saling menatap di waktu jeda kerinduan. "Istriku sedang ke kampung" kuterangkan, Mala mengiyakan seperti entah mengetahuinya. "Mas belum berputra ya?" Mala berbinar tanya kepo, sedang aku surprise kepadanya, yang masih menjadi mahluk pengetahu, tak beda diwaktu lampau. Lalu keadaan cair dan kami berdua bercengkerama tentang masa lalu. Aku sendiri begitu antusias memandang kisah lalu kami yang begitu runut dan rinci yang dituturkan Mala. Aku sukak. Hingga tiba di akhir kenangan silam, kami pun tanpa sadar menginjak waktu didalam kisah aku dan istriku. Mala tersendat kelu. Tentu saja dia blank dengan kisah yang bukan miliknya, aku meyakini.
"Kamu kadang tertekan ya Mas. Istrimu..." tanpa antara Mala bersuara lamat terputus. "Kamu mengetahuinya.." jawabku tertahan. Kedua kami pun membeku, namun aku bisa membaca jawaban dari mata penasarannya sejak dulu. Ya, aku tau, Mala mengetahuinya penuh, tentang kekurang cocokkan diriku dan istriku. Â Aku merunduk, seakan melihat wajah masa lalu, yang datang lebih update, untuk menemukan kembali hadiahnya atau juga aibnya. Aku menatap Mala tepat diwajahnya, seakan melihat masa lalu ku tepat di wajahnya. Â
"Aku pulang.." serta merta dia beranjak. Entah apa yang ada di kepalaku, apakah akan memeluknya atau mendorongnya. Hanya kecamuk.
Dari punggungnya yang melenggang, aku kusapa kata terakhir, "Kupikir kamu selamanya tak akan pernah melepasku, Mala..". Sekejap Mala berpaling, wajahnya tersenyum sambil mengangguk. Persis seperti masa lalu itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H