Mengurung adalah kesenanganku. Aku tak hendak berdiri dan bersorak bersama. "Kamu halu" begitu frens menjuluki. Tak ada hidup untuk pergi ke lautan atau bahkan perjalananan ke pantai.Â
Berbelanja berkeranjang disupermarket atau goodie bag mal tak ingin kukenal. Perihal ini hanyalah sayup terngiang dari kamar kecilku yang penuh imajinasi.
Hanya pikiranku yang kujalankan semau dia pergi, menulis perjalanan burung burung dan orang desa, atau kebun kecil dibawah jendela kamarku, soal bunga dan kumbang yang bermusuhan dengan rama rama memperebutkan putik mahkota.
"Kamu menarik diri dari dunia" kata temanku mencibir, menjadi  sekejam itu, bahkan katanya aku manusia freak, yang membawa dunia kedalam kamarnya. Â
Ketika aku tersenyum tak hirau, mereka semakin menderu bukan saja aku pengkhayal tapi juga anti sosial. Mengapa? Hanya karena aku tidak bereaksi dengan etalase kerutinan mereka berurusan dengan belanja tahunan, bulanan sampai hari hari.Â
Gila enggak? Mereka demikian repot dengan hal hal menyangkutkan kesendirianku dengan kesibukan mereka membeli pangan sampai susu anak, padahal kerepotan sehari hari mereka begitu menyita waktu dan memburu kehidupan.Â
Sepertinya mereka kehabisan waktu dan lalu menatap kesunyianku yang mewah karena memiliki kelebihan waktu.
Padahal aku hanya duduk berjam dimeja kecilku, itu saban hari dalam kekuatan lux sinar lampu yang cukup untuk membiarkan otakku mencari fantasinya. Itu saja. Kamar yang menjadikan dunia fantasi pribadi untuk melihat segala yang aku rasakan dan membayangkannya lebih tinggi.
Subuh ini seperti layaknya, diriku menjenguk keberangkatan mentari di timur dari balik cakrawala. Kejadian penyebaran rona emas melepaskan warna ungu dibelakangnya adalah isyarat fajar menjelang.Â
Dan aku suka. Sambil mengitari dahan dahan berbunga yang berderet disekeliling taman, menanti peristiwa kosmik dengan tak lupa menyanding keranjang tempat belanja langitku.
Aku menyusuri lebih jauh ke semak belukar menjauh ke timur pekarangan, jalan yang menaik yang bertambah gelapnya seakan mengunci kemunculan fajar lebih lambat.Â
Aku gembira nian, memandang keatas alam, di langit yang masih ungu bintang bintang pun masih berkelip dititik habisnya. Lalu aku merasa seperti titik debu menggapai fantasi lengkung kosmik yang tanpa batas. Bintang bintang kecil  jauh yang memenuhi horizon yang bila disandingkan dengan bumi kita , mungkin bumi hanya sebesar buah beri di peluk asal semak belukarnya.
Barangkali keinginanku terlalu luas, mau mengambil sebagian langit yang sedang memeluk bumi, seperti buah beri kecil ditengah semak belukar heritagenya. Â
Tanpa kusadari kuayunkan keranjang yang ku sanding, memasukkan kedalam keranjang buah beri lucu, berikut  sebagian daun semak belukarnya , sehingga berjuntailah daun dedaunnya menggantung  indah keluar melimpahi  keranjang belanjaku.
Berpuas dengan kedatangan pagi, diriku pun pulang kembali menuju kamar mungilku, menyusuri jalan yang mulai riuh pertanda hari pagi belanja pasar mulailah terbuka.Â
Kujinjing keranjang erat digenggamku dengan hati suka, menyapa teman teman yang berpapasan membawa keranjang belanja mereka yang padat melebar berisi jejalan kebutuhan yang bakal habis sehari dua.Â
Meski kutangkap sebersit tanya, dari wajah wajah mereka yang tak biasa, namun tak pun hirau kuteruskan langkah riang melalukan kesibukan mereka.Â
Sempat kususutkan langkah guna mencuri kerling dari wajah mereka kerna sebagiannya menghentikan langkah kakinya. Serta merta kulihat wajah mereka tertegun sambil menatap keranjang ku yang terlihat begitu luas dan nyaman.
Beberapa dari mereka, kudengar berkata bahwa didalam keranjang yang kubawa, mereka melihat bintang, bumi dan cakrawala yang berjuntai meluber.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H