Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Nia Kecil

30 Agustus 2019   01:42 Diperbarui: 30 Agustus 2019   02:50 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi hari ini kenapa malas. Nia kecil merasakan anggota badannya demikian lunglai. Ah, barangkali bekas kemarin pelajaran olahraga agak menyita stamina tubuh kecilnya.  Benak mungilnya masih jelas mengingat, ketika terjaga dipinggir malam tadi, merasakan dadanya terhempas dan membuat  sesak nafasnya.

Serasa kehilangan udara dan keringat membasah, Nia berniat menggapai mamanya di kamar tidur sebelah. Namun urung, dia merasakan mendingan dan berangsur segar bahkan merasakan tubuhnya begitu ringan.

Bangkit dari ranjang princessnya, Nia melangkah lembut menjelang jendela, mata kanak beningnya memandang lepas halaman. Pagi yang masih pagi, mentari pun belum keluar dari rumahnya. Nia tersenyum.  

Enggak kayak kemarin, pagi ini dia begitu merindu mentari, menanti sinar emasnya, begitu pasionnya. Biarlah aku menongsongnya, enggak sabar kalo mengharap saja dari ruang kecil kamarnya, Nia berniat sangat, dia cemas seandainya terlewat mentari.

Direngkuhnya sisir merah jambon kesayangannya dan mulai merapikan rambut hitam panjang nya yang berkilau. Menyibakkannya hingga menutup separuh wajah naifnya disusul dengan menyapukan garis sisir dari atas sampai ujung akhir rambutnya. Perlahan perlahan. Sementara sebelah matanya menatap cermin rias, bibir tipis nya tersenyum .

"Aku mau memulai ke matahari, cantik" katanya kepada cermin, yang sekejap kemudian cermin menjawab dengan tawa kecilnya. Bayang cerminnya membuatnya suka hati, dia pun lanjut berjingkat menuju lemari kecilnya, membukanya halus tanpa suara dan memilih pakaian.

"Pakaian apakah? Seragam sekolah? Ah, kenapa sekolah? Baiklah" Nia meragu. Seperti tak sadar Nia mengikuti saja tangan mungilnya meraih baju main yang di sukainya. Rok kulot dan kaus putih bergambar bunga. Tetapi, bukankah kemarin dia sudah memakainya? Nia tak hirau, dia sukak baju favorit ini pokoknya! Lalu dia kembali kedepan cermin, melihat lagi bayangnya. "Seperti kemarin" gumamnya senang.

Tapi ada satu yang kurang, ya, itu tas kecilnya. Nia mencari kesana kemari akhirnya dia ingat, bukankah kemarin digantungnya di gantungan pakaian. Ah, itu dia. Nia merengkuhnya yang secepat pula dikalungkannya menyilang di sosok kurusnya. Persis, sama lengkapnya dengan penampilannya kemarin, kembali lagi kehadapan kaca cerminnya. Nia senyumkan gigi gigi putihnya. Oke, sempurna. Begitu seakan sang cermin bertutur.

Mengenakan sepatu kain rupa warna pilihannya, Nia segera melangkah keluar kamar. Sejenak dia teringat mama, mungkin masih terlelap tak mengapa. Setengah berlari dia menuju pintu muka rumah, memutar kuncinya perlahan dan melepas tubuh kecilnya keluar.

Dia menatap ruang bebas, belum terlihat satupun garis sinar mentari , kemanakah? Gadis kecil itu menunggu termangu, wajah lugunya memucat, dia merentangkan kedua tangannya untuk merasakan rasa.

Ada sentuhan tawang hangat disalah satu sisi lengannya. Lalu Nia menuju arah hangat itu, langkah mini nya tak bersuara karena mau hati segera tiba. Masih jauhkah mentari?, tanya hatinya menggoda sepanjang  perjalanan. Dimanakah pintumu mentari?

Mata belok boneka Nia sedikit menyipit, selain hangat yang merebak, garis garis sinarpun mulai terlihat rapat dan sedikit menyilaukan, namun Nia terus melangkahkan keinginan kalbunya. Hingga terpandang sebuah pintu gerbang melengkung  tertutup dengan sinar sinar emasnya didalam mengintai ingin melepas keluar. Nia gembira bukan kepalang. Itu kan pintu matahari, jeritnya.

Namun terlihat beberapa penjaga terlihat berjaga dimuka gerbang. Mereka bertubuh kokoh, berwajah putih tampan, berbusana putih bersih bercahaya, bersinar mata waspada, menatap gadis kecil Nia.

"Perlu apakah wahai gadis kecil kemari?" seorang penjaga bertanya lembut berwibawa.

"Aku mau main" Nia kecil menyahut lugu.

 ***

Sementara dibawah sempurna sinar matahari, di sebuah rumah yang ditinggalkan. Kerabat sudah berdatangan dan ibu menangisi kepergian. 

"Dia belum mengerti apa apa" pedihnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun